menjadi tantangan bagi Jakarta kalau ingin bertransformasi menjadi kota global
Jakarta (ANTARA) - Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menyebut Jakarta perlu memiliki aturan khusus dalam penyelenggaraan administrasi kependudukan untuk melindungi hak-hak sipil penduduk.

"Harus punya pengaturan tersendiri dalam penyelenggaraan administrasi kependudukan untuk memudahkan akses layanan serta penyediaan data dan informasi sebagai acuan dasar perumusan kebijakan dan pembangunan," kata Heru di Balai Kota DKI Jakarta, Selasa.

Penduduk Jakarta berjumlah 11.350.328 jiwa dibandingkan dengan luas wilayah 660,98 kilometer per segi membuat Jakarta menjadi sangat padat sehingga berpengaruh terhadap keseimbangan kondisi lingkungan dan daya tampung.

Selain itu, tren pendatang dari daerah ke Jakarta mengalami peningkatan selama tiga tahun, dengan komposisi 80 persen pendatang merupakan lulusan SMA ke bawah, 40-60 persen pendatang berpenghasilan rendah, dan 20 persen pendatang tinggal di RW kumuh.

Kondisi tersebut, kata Heru menjadi tantangan bagi Jakarta kalau ingin bertransformasi menjadi kota global setelah tak lagi menyandang status Ibu Kota Negara.

Heru juga menjelaskan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil sudah tidak relevan dan perlu dicabut.

Hal itu mempertimbangkan kondisi Jakarta dan berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, serta Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.

"Dengan dicabutnya Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011, maka ketentuan lain yang mengatur administrasi kependudukan tetap berpedoman kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi di atasnya dan berlaku sebagai landasan hukum pelaksanaannya," jelas Heru.


Beberapa kebijakan Administrasi Kependudukan yang sudah berjalan namun belum diakomodir dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011, antara lain stelsel aktif penyelenggaraan administrasi kependudukan bagi instansi pelaksana dan penduduk, penerapan asas domisili dalam penyelenggaraan administrasi kependudukan, dihilangkan syarat penetapan pengadilan dalam pencatatan kelahiran yang melebihi satu tahun sejak kelahirannya.

Lantas soal pemberlakuan KTP elektronik WNI seumur hidup, masuknya elemen biometri biodata penduduk seperti foto, sidik jari, iris mata, dan tanda tangan dalam biodata penduduk, biaya gratis semua jenis layanan kependudukan dan pencatatan sipil.

Kemudian Implementasi layanan Kartu Induk Anak (KIA), layanan kependudukan dan pencatatan sipil terintegrasi dengan pelayanan publik lain, tidak diperlukan pengantar RT dalam mengurus dokumen kependudukan kecuali untuk pengurusan biodata penduduk pertama kali.

Selanjutnya, pelayanan administrasi kependudukan secara daring, penerapan dokumen elektronik dan tanda tangan elektronik (TTE), tidak diperlukan tanda tangan RT dan Lurah dalam Kartu Keluarga dan KTP-elektronik, dan pemanfaatan data kependudukan melalui akses data.

Semua layanan kependudukan tersebut belum diatur melalui perda sehingga menjadi latar belakang pembuatan Raperda Pencabutan Perda Nomor 2 Tahun 2011 seperti disampaikan Heru dalam Rapat Paripurna DPRD DKI, pada Senin (23/10).
Ketiga Raperda lainnya yakni Raperda tentang Penyelenggaraan Sistem Pangan, Raperda tentang Perubahan Atas Perda Nomor 5 Tahun 2010 tentang Lembaga Musyawarah Kelurahan, dan Raperda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Baca juga: Jakbar buka layanan dokumen kependudukan di lokasi kebakaran Tambora
Baca juga: Disdukcapil terbitkan administrasi kependudukan pendatang usai Lebaran
Baca juga: RT/RW di Jakarta pastikan punya tiga kepastian dari warga pendatang

Pewarta: Siti Nurhaliza
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2023