reformasi kelurahan harus dimaknai sebagai "kata kerja" yang berlanjut dalam aksi bersama untuk mewujudkannya, bukan nomenklatur dan sekadar wacana.
Yogyakarta (ANTARA) - "Indonesia tidak akan bercahaya karena obor besar di Jakarta, tetapi Indonesia baru akan bercahaya karena lilin-lilin di desa," demikian kata Bung Hatta.
Pernyataan Wakil Presiden pertama sekaligus Proklamator Kemerdekaan Indonesia itu hingga kini masih relevan untuk diterjemahkan Pemerintah Pusat hingga daerah melalui beragam inovasi program dan kebijakan pembangunan desa.
Dalam konteks itu, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta pada 19 Oktober 2023 mengumpulkan lurah atau kades se-DIY untuk bersama mengikuti peluncuran program reformasi kelurahan yang secara resmi dimulai tahun ini.
Reformasi kelurahan merupakan aktualisasi dari visi, misi, dan strategi pembangunan DIY dalam meningkatkan kualitas hidup, kehidupan, dan penghidupan masyarakat.
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X bahkan telah menempatkan reformasi kelurahan sebagai prioritas saat menyampaikan visi-misi kepemimpinannya untuk periode 2022-2027.
Reformasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara.
Dengan demikian, reformasi kelurahan bisa dimaknai bahwa DIY tidak sekadar melanjutkan atau meningkatkan pembangunan desa, namun akan menata ulang tata kelola desa.
Peraturan Gubernur DIY Nomor 40 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Reformasi Kelurahan pada 29 September 2023 menjadi awal aktualisasi misi dan strategi pembangunan kelurahan di DIY.
Program itu juga menjadi aktivator sosial dalam meningkatkan kualitas hidup, kehidupan, dan penghidupan masyarakat, pembangunan yang inklusif, dan pengembangan kebudayaan.
Reformasi kelurahan DIY terdiri atas reformasi birokrasi kelurahan dan reformasi pemberdayaan masyarakat kelurahan.
Reformasi birokrasi kelurahan diwujudkan melalui berbagai program, di antaranya penguatan pengelolaan data dan informasi kelurahan, pengembangan sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (SAKIP) kelurahan, penguatan digitalisasi kelurahan, penguatan pengelolaan keuangan kelurahan, hingga penguatan pengadaan barang dan jasa pemerintah kelurahan.
Sementara itu, untuk reformasi pemberdayaan masyarakat kelurahan, dicanangkan lima program yakni penguatan kegiatan penanganan stunting, penguatan kegiatan untuk pendampingan pengembangan kebudayaan.
Berikutnya, penguatan kegiatan untuk pembangunan lingkungan yang mendukung perekonomian, sosial, dan pengembangan kebudayaan, penguatan kegiatan pemberdayaan perekonomian dan penguatan kegiatan untuk penanganan kemiskinan.
Tekan kemiskinan
Meski mayoritas masyarakat telah memiliki pekerjaan, secara statistik kemiskinan DIY dianggap masih tinggi, mencapai 11,49 persen, atau menduduki peringkat ke-12 provinsi dengan kemiskinan tertinggi di Indonesia.
Apabila reformasi kelurahan dijalankan secara serius, Sultan HB X meyakini kelurahan mampu menjadi garda terdepan untuk mengatasi kemiskinan, sebab akan banyak aktivitas yang dimanfaatkan masyarakat desa untuk meningkatkan perekonomian.
Setelah reformasi kelurahan diterapkan, seluruh desa di DIY diharapkan tidak lagi bergantung pada bantuan karena masyarakat bersama lurah dan perangkat desa memiliki sistem manajemen baru untuk bisa membuka lapangan kerja baru.
Untuk mendukung program itu, Sultan HB X saat "Kick off Meeting Reformasi Kelurahan" menegaskan bahwa program pengucuran dana Rp1 miliar untuk investasi di kelurahan sangat relevan untuk dapat direalisasikan.
Raja Keraton Yogyakarta itu berharap uang yang bersumber dari dana keistimewaan itu dapat digunakan untuk menjawab permasalahan ekonomi dan sosial yang ada di kelurahan.
Dana tersebut antara lain dapat digunakan untuk mengoptimalkan pengelolaan BUMDes sebagai garda terdepan yang menopang ekonomi DIY terutama di wilayah desa.
Dengan optimalisasi dana keistimewaan di BUMDes diproyeksikan dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pemberdayaan kelurahan.
Selain itu, masing-masing kelurahan di DIY nantinya harus proaktif mengurangi angka pengangguran dengan menyediakan layanan helpdesk ketenagakerjaan oleh "Peladi Makarti" yang bertugas memberikan informasi ketenagakerjaan.
Layanan tersebut bakal disinergikan dengan pelaksanaan program yang difasilitasi oleh Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Yogyakarta dan BPJS Ketenagakerjaan.
Direktur Jenderal Pembangunan Desa dan Perdesaan Kemendes PDTT Sugito pun berharap program reformasi kelurahan yang digagas Pemda DIY dapat ditularkan ke seluruh kelurahan di Indonesia.
Sebab, program tersebut dinilai selaras dengan program desa inklusif dan sistem akuntabilitas sosial yang dicanangkan Kemendes PDTT.
Akselerasi
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga mantan anggota Satuan Tugas Dana Desa Arie Sudjito memandang reformasi kelurahan sebagai terobosan sekaligus momentum menata ulang atau mengubah tata kelola kelurahan agar tercipta akselerasi pembangunan.
Realisasi program yang lambat diharapkan menjadi cepat, yang kusut menjadi terurai, namun tetap bermuara pada kualitas.
Dengan reformasi kelurahan diharapkan budaya lama yang kental dengan ungkapan: "kenapa harus cepat kalau bisa dibuat lambat atau kenapa harus ringan kalau bisa dibuat berat", mesti total dihilangkan.
Meski demikian, reformasi kelurahan sebagai mesin pembangunan tidak mungkin dapat beroperasi penuh jika sekadar mengandalkan lurah tanpa melibatkan partisipasi masyarakatnya.
Karena itu, reformasi tidak bisa bergantung pada kecerdasan atau kehebatan sosok lurah semata, tetapi harus ditopang dengan sistem yang didukung basis data.
Melalui sistem yang bagus, Arie Sujito meyakini antar-kelurahan pun kelak dapat bersinergi dalam mengentaskan warga miskin secara bersama-sama.
Kelompok masyarakat di desa yang terdiri atas berbagai sektor diharapkan mampu bersatu mengembangkan potensinya untuk maju dan mandiri bersama tanpa meninggalkan budaya lokal sebagai pijakan.
Meski demikian, reformasi kelurahan harus dimaknai sebagai "kata kerja" yang berlanjut dalam aksi bersama untuk mewujudkannya, bukan nomenklatur dan sekadar wacana.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023