Buat penyidik, kasus pencurian motor itu sudah biasa, tetapi bagi masyarakat yang kehilangan itu berbeda, tidak biasaJakarta (ANTARA) - Komisi Kepolisian Nasional menyarankan kepada Polri dan jajarannya untuk membuat inovasi layanan publik berupa aplikasi yang sederhana dan murah, tetapi efektif dalam membangun transparansi kinerja kepolisian.
"Di Polri itu aplikasinya banyak, tetapi terkesan tinggi-tinggi (sulit diakses masyarakat), aplikasi ini, aplikasi itu, yang pada saat bulan ini diluncurkan, kemudian tidak berlanjut lagi,” kata Kepala Bagian Dukungan Teknis Sekretariat Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Komisaris Besar Polisi Napitopulu Yogi dalam acara Forum Komunikasi Publik Jajaran Polri di Jakarta, Senin.
Yogi mencontohkan salah satu aplikasi layanan publik yang dibuat oleh Kapoltabes Makassar, yakni berupa grup obrolan daring (WhatsApp Grup/WAG) untuk memfasilitasi para pelapor mengetahui posisi perkara yang diadukan atau dilaporkan.
Di dalam WAG tersebut, selain ada pelapor, juga ada penyidik, kepala satuan, wakil kepala satuan dan kepala bagian yang membidangi layanan kerja reserse.
"Inovasi ini enggak pakai duit juga, semua orang punya ponsel, ini bentuk inovasi sederhana, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Masyarakat maunya apa, masyarakat mau dapat informasi yang cepat, dicari yang murah buat WAG," kata Yogi.
Baca juga: Kompolnas terima 1.098 aduan terkait pelayanan Polri
Selain masyarakat terlayani dalam akses informasi dan pengaduan, di dalam WAG tersebut juga ada fungsi pengawasan. Ketika masyarakat menanyakan di grup terkait perkembangan kasusnya, penyidik bisa merespons dengan adanya kepala satuannya di dalam grup tersebut.
"Bagi Kompolnas, inovasi sederhana, murah tapi efektif untuk membangun transparansi, komunikasi sekaligus pengawasan melekat," kata Yogi.
Dalam kesempatan itu, Yogi juga menyampaikan masalah pengaduan atau laporan tentang kepolisian yang dilayangkan masyarakat kepada Kompolnas.
Berdasarkan data keluhan masyarakat dari tahun 2021 hingga 2023, sekitar 98 persen laporan yang masuk Kompolnas masih terkait layanan reserse. Dari enam aspek kinerja yang dinilai (pelayanan buruk, diskriminasi, korupsi dan penyalahgunaan wewenang), sebanyak 95 persen keluhan adalah terkait pelayanan buruk.
Baca juga: Kompolnas: Komunikasi perlu diperbaiki agar jumlah aduan turun
Kompolnas juga menemukan penyidik yang tidak memberitahukan atau lambat memberitahukan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) kepada masyarakat sebagai pelapor dengan anggapan masyarakat mengetahui tahapan penyelidikan dan penyidikan di kepolisian.
Padahal, tidak semua masyarakat tahu dan yang kerap menjadi persoalan. Ketika masyarakat ingin tahu perkembangan kasusnya, menghubungi penyidik, tetapi tidak mendapat jawaban sehingga hal ini justru menimbulkan persoalan baru. Hingga memunculkan istilah "viral dulu baru diproses"
Kompolnas juga menemukan kurangnya empati penyidik kepada masyarakat yang datang melapor, seperti kejadian korban pencurian sepeda motor melapor mendapat perlakuan yang kurang empati. Dengan menyampaikan kalimat "baru hilang motor, itu sudah bisa."
"Buat penyidik, kasus pencurian motor itu sudah biasa, tetapi bagi masyarakat yang kehilangan itu berbeda, tidak biasa. Respons-respons seperti ini yang menjadi komplain di masyarakat," ujar Yogi.
Yogi juga meminta jajaran Polri melek sosial media karena media sosial menjadi saluran masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya ketika tidak mendapatkan pelayanan baik dari kepolisian.
Menurut ia, kunci dari penyelesaian permasalahan kepolisian yang timbul di masyarakat adalah lewat komunikasi dan transparansi.
Baca juga: Polri jaring aspirasi bangun kualitas pelayanan publik prima
Baca juga: Kompolnas sebut masyarakat masih taruh perhatian kepada Polri
Baca juga: Kapolri ingatkan jajaran untuk tinggalkan zona nyaman
Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2023