Beijing (ANTARA News) - Alunan musik angklung sejak Jumat pagi hingga pertengahan hari bergema di salah satu bagian tembok besar China, tepatnya di ruas tembok Juyongguan yang letaknya beberapa kilometer lebih dekat dari Beijing.
Sekitar 200 orang mahasiswa pelajar dan Indonesia di China, serta beberapa orang dari Saung Udjo memainkan sekitar lima lagu berbahasa Mandarin seperti Shanghai Tan, Yueliang Daibiao Wode Xin, dan Tian Mi Mi.
Sejumlah wisatawan yang sedang mengunjungi Tembok Besar China pun terpukau dengan permainan musik angklung tersebut, dan satu per satu mereka pun ikut berbincang tentang alat musik bambu tradisional Jawa Barat itu, dengan salah satu anggota Saung Udjo.
Setelah memahami alat musik angklung, mereka pun ikut memainkan alat musik itu membawakan beberapa lagu, sebagian lagi mengabadikan momen itu dengan kamera atau video.
Daeng Udjo saat berbincang dengan Antara mengatakan,kegiatan ini merupakan upaya lebih mengenalkan alat musik angklung kepada masyarakat China, dan internasional yang sedang berada di China.
Angklung, lanjut dia, merupakan alat musik sederhana yang dapat dimainkan secara masal.
"Bahkan yang belum pernah memegang angklung pun, seketika bisa memainkannya sesuai petunjuk ``konductor`," tuturnya.
Daeng menambahkan angklung telah menjadi salah satu alat diplomasi sederhana.
"Karena itu, kami ingin mengajak masyarakat China, dan masyarakat internasional di China untuk bermain bersama, saling mengenal dan memahami satu sama lain melalui angklung," katanya.
Budaya dan seni tidak dapat dilepaskan dari bagian diplomasi.
"Melalui kebudayaan dan kesenian, kita dapat saling kenal dan memahami satu sama lain, meski berbeda latar belakang, asal negara dan lainnya," ujar Daeng.
Penampilan angklung di salah satu ruas di Tembok Besar merupakan bagian dari promosi konser kolosal angklung yang akan digelar pada akhir Juni 2013 di Beijing.
Konser kolosal angklung itu merupakan bentuk pelestarian alat musik bambu khas Indonesia yang telah tercatat sebagai salah satu warisan budaya dunia "The Intangible Heritages" UNESCO.
Pewarta: Rini Utami
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013