Jakarta (ANTARA News) - Sekitar 85 persen permasalahan TKI yang muncul di luar negeri bermuara atau limbah dari penanganan dalam negeri yang kurang tepat.
Menlu Hasaan Wirayudha pada presentasinya di Rakornas Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan TKI berbasis UU No.39/2004 di Jakarta, Kamis, mengatakan, Deplu masih belum memiliki dana tetap dari APBN untuk membela TKI.
Terlepas dari permasalahan itu, kata Hassan, para TKI adalah pahlawan yang mencoba mengubah nasibnya di luar negeri, apapun risikonya.
Hassan mencatat, masih ada pembauran fungsi dari pelaksana dan regulator, termasuk di lingkungan Depnakertrans. Karena itu pentingnya merealisasi mandat UU untuk membentuk Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI.
Mengenai perlindungan dan peran perwakilan RI untuk melindungi warganya di luar negeri, Menlu mengatakan, hal itu dilakukan dengan tetap mengacu pada konvensi Wina dimana mitra perwakilan RI adalah mitranya (badan pemerintah ) setempat.
Dengan demikian perwakilan TKI tidak bisa melakukan intervensi langsung terhadap suatu kasus seperti yang diingini sebagian kalangan, katanya.
Begitu juga dengan peran lembaga hukum. Ada keterbatasan pengacara
Indonesia untuk beracara di negara tujuan penempatan, karena yang boleh beracara adalah pengacara lokal.
Menlu menilai suatu pemborosan menyewa pengacara di Indonesia dengan biaya tinggi sementara tidak boleh beracara di negara tujuan penempatan.
Deplu memperkirakan dari 1,4 juta TKI di Malaysia, separo di antaranya ilegal. Deplu sering kali kesulitan untuk melindungi TKI ilegal karena tidak jelas keberadaanya.
Bagi yang resmi pun, dengan tidak adanya kewajiban melapor pada setiap kedatangan TKI sehingga menyulitkan untuk mengetahui jati diri dan keberadaan TKI, apa lagi memberikan perlindungan.
Hassan mencontohkan peliknya masalah yang dihadapi Deplu ketika muncul kasus penyanderaan dua TKW Irak dengan sistem administrasi yang ada. Kedua TKW itu adalah Casingkem dan Istiqomah, Deplu tidak memiliki nama, alamat kedua TKW tersebut.
Untuk mendapatkannya itu petugas Deplu harus pergi ke Malang, Banyuwangi dan Cianjur. Hal itu terjadi akibat penggunaan dokumen yang tidak benar dan paspor yang asli tapi palsu.
Sebagian besar masalah yang dihadapi TKI adalah gaji yang tidak
dibayar, perlakuan kasar, pelecehan dan sebagainya.
Di Singapura sejumlah TKW diancam hukuman mati, sementara di dalam negeri muncul harapan agar mereka dibebaskan dari hukuman mati, sementara di dalam negeri saja warga yang bermasalah juga dihukum mati.
Singapura menunjuk
lawyer terbaik untuk membela WNI. Pengacara itu membela sehingga terbebas dari hukuman mati jadi tahanan 10 tahun.
"Capaian itu kurang muncul. Yang ada kecaman dari berbagai kalangan termasuk dari NGO," kata Hassan.
Deplu melihat ada dua kondisi negara penerima TKI, yakni negara yang memilik sistem hukum yang baik dan yang tidak. Singapura, Hong Kong dan Jordan memiliki sistem hukum yang baik.
Sementara yang tidak di antaranya Malaysia dan Saudi Arabia, di negara seperti itu perlindungan TKI sulit bisa dilakukan secara maksimal.
Deplu juga mencatat beberapa negara tujuan yang belum ada perwakilan tetap RI di sana, seperti di Bahrain, Oman dan Qatar.
Hassan juga mengungkapkan perwakilan RI tidak memiliki dana tetap dari APBN untuk pelayanan dan perlindungan TKI.
Selama ini dana tersebut berasal dari Depnakertrans yang berasal dari Dana Perlindungan TKI 15 dolar AS/TKI yang menjadi pendapatan negara bukan pajak (PNBP).
Dana itu, kata Hassan, kadang ada kadang tidak, dan jika ada susah keluarnya. "Kini sering tidaknya," kata Hassan. Dana lain berasal dari Depsos yang merupakan dana orang terlantar yang keluarnya harus dipersekot dahulu, lalu baru diklaim. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006