Jakarta (ANTARA) - Generasi muda Indonesia utamanya kalangan mahasiswa memiliki potensi yang sangat besar menjadi agen pembawa pesan dalam upaya restorasi ekosistem lingkungan berkelanjutan di tengah gempuran isu perubahan iklim global.

Hal tersebut diungkapkan oleh Rektor Universitas Paramadina Didik J. Rachbini dalam sesi diskusi pembukaan Science Film Festival 2023 di kantor Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Jakarta, Sabtu.

"Universitas Paramadina berterima kasih kepada Goethe-Institut karena pada tingkat mikro telah melibatkan partisipasi mahasiswa selama 14 tahun festival ini berlangsung. Sedangkan tingkat makro, tentu mahasiswa bisa menyebarluaskan isu-isu restorasi iklim lewat perkuliahan-perkuliahan," kata dia.

Baca juga: Bincang-bincang bersama Yosep Anggi Noen di Festival Film Tokyo 2019

Baca juga: Tiga film Indonesia diputar di Festival Film Tokyo 2019

Didik melanjutkan bahwa saat ini terdapat sebanyak 5600-an mahasiswa di Universitas Paramadina dengan 2000 kelas selama satu tahun serta jumlah pertemuan sebanyak 25 ribu.

"Kalau dari jumlah lima sampai 10 persen dari pertemuan itu diisi dengan isu-isu perubahan iklim dan seterusnya, maka tentu mahasiswa bisa menjadi agen yang bagus untuk menyebarkan pengetahuan tentang menjaga bumi," terang Didik.

Menurut Didik pada masa kemajuan teknologi saat ini, maka cara yang paling efisien adalah menggunakan transformasi baru melalui media sosial.

"Zaman ilmuwan Goethe dulu kan tidak ada media sosial, hanya kereta api dan seterusnya. Sedangkan anak-anak di Universitas Paramadina punya media sosial yang bagus, ada banyak selebritas, bahkan twitter Paramadina memiliki hampir 200 ribu pengikut. Jadi, media sosial merupakan cara yang mudah bagi mahasiswa untuk menyebarluaskan pengetahuan keilmuan yang bagus," papar dia.

Kepala Kantor Urusan Internasional Unika Atma Jaya Adre Zaif Rachman (kiri) saat berbicara dalam sesi diskusi pembukaan Science Film Festival 2023 di kantor Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Jakarta, Sabtu (21/10). (ANTARA/Ahmad Faishal)

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Kantor Urusan Internasional Unika Atma Jaya Adre Zaif Rachman mengungkapkan bahwa posisi universitas yang kerap berinteraksi langsung dengan berbagai lapisan masyarakat menjadi peluang dan tantangan dalam upaya membantu restorasi ekosistem lingkungan berkelanjutan.

"Karena itu kami harus bisa mengarahkan hal-hal yang selama ini dilakukan bisa berguna dan digunakan oleh masyarakat. Bagaimana kami menghasilkan sesuatu yang bukan cuma ilmiah, namun bisa diaplikasikan dalam kehidupan. Tidak cuma dalam tataran riset, namun juga ketika kami turun ke masyarakat hasil riset tersebut bisa memiliki dampak positif," imbuh Adre.

Tahun ini, edisi keempat belas Science Film Festival di Indonesia mengusung tema "Agenda Dekade Restorasi Ekosistem dari PBB" untuk menjangkau siswa-siswi SD sampai SMA di 70 kabupaten/kota yang akan mengeksplorasi pentingnya perlindungan dan pemulihan ekosistem melalui pemutaran film-film internasional disertai berbagai eksperimen sains yang menyenangkan.

Digelar secara hibrida mulai 21 Oktober hingga 30 November 2023 dengan memutarkan sebanyak 18 film dari 12 negara yakni Afrika Selatan, Amerika Serikat, Argentina, Brasil, Chile, Indonesia, Inggris, Jerman, Kazakhstan, Kolombia, Tanzania, dan Thailand.

Baca juga: Goethe-Institut dukung ekosistem pengelolaan sumber daya lewat SFF

Baca juga: Science Film Festival hadir di 55 kota Indonesia

Baca juga: Mengemas sains jadi lebih menarik lewat film

Pewarta: Ahmad Faishal Adnan
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2023