Paris (ANTARA News) - Menteri luar negeri Prancis mengatakan pihaknya yakin bahwa pemerintah Suriah telah menggunakan gas racun saraf, sarin, terhadap para gerilyawan.

Meningkatnya laporan-laporan dari medan perang tentang penggunaan senjata kimia telah mendorong adanya tekanan diplomatik baru untuk mengakhiri perang dan mengobarkan desakan agar Barat melakukan campur tangan dalam konflik di Suriah.

Ketika berbicara kepada stasiun televisi France 2, Menteri Luar Negeri Laurent Fabius, Selasa, mengatakan beberapa sampel yang diuji oleh Paris membuktikan bahwa pemerintah Suriah telah menggunakan sarin.

"Tidak ada keraguan bahwa rezim (Suriah) dan kaki tangannya (yang menggunakan sarin, red) karena kami mengetahui seluruh rangkaiannya, dari serangan yang terjadi hingga kapan orang-orang meninggal dunia ketika sampel-sampel itu diambil," ujarnya.

Seorang sumber diplomatik Prancis mengatakan bahwa sampel-sampel darah dan air seni diambil setelah sebuah helikopter pemerintah Suriah menjatuhkan mesiu-mesiu pada 29 April lalu di Saraqib dekat kota sebelah utara, Idlib.

Prancis telah melakukan pengujian terhadap sampel yang diduga sebagai unsur-unsur senjata kimia selama beberapa minggu, termasuk beberapa yang diselundupkan keluar oleh para wartawan koran harian Prancis, Le Monde, dan sejumlah lainnya yang didapatkan di dalam wilayah Suriah.

Namun, sumber tersebut mengatakan bahwa Paris tidak bisa memastikan sampel dari Le Monde menunjukkan siapa yang bertanggung jawab dalam penggunaan sarin di Jobar, di dekat Damaskus pusat, antara 12 hingga 14 April.

Hasil-hasil pengujian itu telah diserahkan kepada kepala tim penyelidik senjata kimia Perserikatan Bangsa-Bangsa, Ake Sellstrom, hari Selasa di Paris, kata Fabius.

Baik Washington maupun Moskow telah mengetahui hasil-hasil tersebut hari Senin.

Sumber yang bersangkutan menambahkan bahwa Paris juga menguji sampel yang diduga dari serangan kimia di lokasi-lokasi berbeda.

Pemerintah Presiden Bashar al-Assad telah membantah bahwa pihaknya menggunakan senjata kimia dan justru menuduh para gerilyawan yang melakukannya dalam perang sipil.

Perang yang telah berlangsung selama dua tahun itu menurut PBB telah menewaskan lebih dari 80.000 orang.

Fabius mengatakan bahwa batas sudah dilanggar dan Paris sedang membahas dengan sekutu-sekutunya tentang bagaimna menanggapi temuan tersebut.

"Semua kemungkinan sudah disiapkan," katanya. "Itu berarti apakah kita memutuskan untuk tidak menanggapi atau kita memutuskan untuk melakukan tindakan, termasuk dengan tindakan dengan senjata yang diarahkan ke tempat gas itu disimpan."

Ia mengatakan pengerahan militer bukan merupakan pilihan utama untuk saat ini karena masih penting untuk memastikan bahwa upaya-upaya mencapai penyelesaian damai tidak mengalami hambatan.

Sumber dari Prancis mengatakan bahwa Paris berharap hasil-hasil -- yang disebut sebagai pertama kalinya yang benar-benar memenuhi standar internasional, bisa membantu para penyelidik PBB untuk bisa memasuki Suriah.

Para penyelidik sudah berminggu-minggu siap untuk masuk ke Suriah, namun persengketaan diplomatik serta kekhawatiran soal keamanan membuat rencana tersebut terus tertunda.

Sumber itu menambahkan bahwa setelah para penyelidik menyelesaikan laporan pertama mereka tentang senjata kimia, Prancis akan menekan Dewan Keamanan PBB untuk mengambil tindakan.
(T008)

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013