Surabaya (ANTARA News) - Perlakuan pemerintah terhadap komoditi tembakau sebagai penghasil cukai dinilai belum adil, terbukti hingga kini belum ada lembaga yang benar-benar bertanggungjawab terhadap kelangsungan budidaya komoditi tersebut. "Pemerintah dan pelaku ekonomi menikmati keuntungan dari tembakau. Tapi, komoditi itu sepertinya dibiarkan saja, tanpa ada perlakuan seperti halnya tebu, karet, kakao, sawit, dan karet," kata pengamat ekonomi pertanian Universitas Jember (Unej), Prof Dr Kabul Santoso MS, di Surabaya, Rabu. Kabul yang juga Ketua Komisi Usaha Tembakau Jember (KUTJ), dalam Pertemuan Teknis Pembinaan Mutu Tembakau, di Balai Pengujian Sertifikasi Mutu Barang dan Lembaga Tembakau Jember, mengemukakan cukai yang dihasilkan dari tembakau pada 2005 mencapai 31,5 triliun. Sementara itu, penyerapan tenaga kerja dari komoditi tembakau mencapai sekitar 18 juta orang terdiri atas 10 juta untuk industri dan perdagangan (off-farm) dan 8 juta untuk pertanian (on farm). Kendati demikian, tantangan yang dihadapi komoditi itu sangat besar, di antaranya kampanye pembatasan pasokan tembakau dunia oleh World Health Organization melalui FCTC. "Perang yang dicanangkan WHO ini cukup signifikan mempengaruhi perdagangan tembakau dunia. Permintaan terhadap tembakau bahan baku cerutu Indonesia cenderung terus menurun," ujar Kabul. Menurunnya permintaan itu, ia menduga karena banyak produsen cerutu melakukan merger, sehingga industri cerutu dunia semakin kecil. Selain itu, taste konsumen cerutu masyarakat Eropa juga menurun, dari cerutu besar (cigar) menjadi cerutu kecil (cigarollos). Sementara itu, industri rokok di dalam negeri masih berkembang terus. Tembakau untuk industri dalam negeri cenderung meningkat sebanding dengan meningkatnya jumlah penduduk. Bahkan impor bahan baku untuk industri rokok juga relatif meningkat. "Apabila tidak ada `effort` (usaha) untuk memenuhi kebutuhan bahan baku rokok industri dalam negeri dengan tembakau produk dalam negeri dan pengembangannya, maka suatu saat ketergantungan terhadap bahan baku tembakau impor akan meningkat terus," ujarnya. Menurut mantan Rektor Unej itu, impor tembakau belum diolah pada 1999 - 2003 rata-rata mencapai 36.075 ton dengan nilai 116 juta dolar AS, tembakau hasil olahan pada periode yang sama rata-rata mencapai 10.372 ton dengan nilai 59 juta dolar AS. Sementara pada periode 1999 - 2003, Indonesia mengeskpor tembakau hasil olahan rata-rata 28.044 ton, dengan nilai 154,329 juta dolar AS. Pada kesempatan yang sama, Direktur Pengamanan Perdagangan Departemen Perdagangan, Martua Sihombing, mengemukakan tuduhan praktik dumping kepada Indonesia dalam 10 tahun terakhir meningkat pesat. Bahkan, Indonesia berada di peringkat keenam negara yang dituduh paling banyak melakukan dumping. Padahal, sebelumnya Indonesia tak masuk 10 besar. "Tapi saat ini, Indonesia berada di bawah RRC, Republik Korea, AS, China Taipei, dan Jepang," ujarnya. Sementara itu, komoditi ekspor yang kena tuduhan adalah ekspor produk industri seperti produk baja, sepeda mainan, alas kaki, semen dan kaca. Lebih lanjut ia mengungkapkan, bahwa ada lima eksportir tembakau Indonesia terkena tindakan safeguard dari pemerintahan Philipina karena dinilai telah merugikan industri tembakau dalam negeri tetangga tersebut. Lima eksportir itu mengekspor tiga jenis komoditi tembakau, yakni jenis tobacco unmanufactured, partly or wholly stemmed or stripped (kode HS 240120), tobacco unmanufactured not stemmed or stripped (kode HS 240110) dan tobacco refuse (kode HS 240130). "Kami sedang melakukan upaya untuk melayangkan bantahan. Kalau tidak, kita akan dianggap benar-benar bersalah," kata Martua Sihombing.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006