Mourinho paham benar bahwa bernalar brutal pada hakekatnya menggunakan sembarang kata untuk menghasilkan banyak gagasan anyar

Jakarta (ANTARA News) - Jose Mario dos Santos Mourinho Felix. Nama panggungnya, Jose "The Special One" Mourinho.

Sosok kelahiran Setubal, Portugal, 50 tahun lalu itu, menorehkan segudang gelar dan segepok prestasi dengan mengandalkan pikiran-pikiran brutal.

Ya, pikiran brutal. Brutal, seperti layaknya Brutus yang menikam raja Julio Cesar dengan menggunakan sebilah belati dari belakang.

Brutal, seperti layaknya Judas Iskariot yang menjual Tuannya dengan 30 keping uang perak, lantaran iming-iming "anda bakal menjadi raja yang dilayani "bidadari-bidadari" swargaloka.

Pikiran brutal ala Mourinho, membuang jauh-jauh nalar bergaya orang kebelet, misalnya kursi selalu berhubungan dengan meja, garam dengan telur, roti dengan mentega, guru dengan murid, kerja dengan uang.

Dor! Akan menjadi nalar brutal, misalnya murid dan guru kedapatan makan "meja dan kursi" ditemani roti dan mentega, karena baik murid dan guru sama-sama bekerja untuk memperoleh uang.

Seseorang yang memegang dan menerapkan nalar brutal tidak ingin main teman-temanan atau main kongkalikong untuk memegang jabatan ini, jabatan itu hanya demi mengamankan misi memperoleh uang sebanyak-banyaknya, karena di sana ada kursi empuk jabatan, karena di sana ada roti empuk mentega gurih.

Berbekal pikiran brutal itulah, Mourinho menyambangi Real Madrid pada 2010, seperti layaknya Madridistas, sarat optimisme dan sarat harapan. Karena di Madrid ada roti empuk mentega gurih, dan di sana ada juga kursi pelatih bertabur uang, maka Mourinho merapat ke pelabuhan La Liga.

Mourinho menerjemahkan roti, mentega, kursi, dan uang sebagai modal untuk meruntuhkan dominasi Barcelona. Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang.

Nalar brutal memberi tanda kurung kepada mereka yang suka berwacana atau bermimpi dengan macam-macam jargon penyilap mata. Nalar brutal membongkar, menerkam, mengaum mereka yang suka main perkoncoan.

Tidak terbiasa memboyong staf pelatih dari tempat asalnya ke klubnya yang baru, jelas-jelas gaya Mourinho memimpin selalu mengajukan pertanyaan, semuanya itu apa gunanya?

Ini nyerempet-nyerempet dengan kebiasaan umumnya tentara bayaran. Ia menerima penugasan, melakukannya dengan kesungguhan, kemudian cepat-cepat ia "pindah ke lain hati".

Hanya dengan pikiran brutal itulah, Mourinho tidak pernah bertengger di satu klub lebih dari tiga tahun. Ia mengawali karier di Benfica (2000), selanjutnya Uniao de Leiria (2001-2002), Porto (2002-2004), Chelsea (2004-2007), Inter Milan (2008-2010), Real Madrid 2010-2013), Chelsea (2013-).

Hanya dengan pikiran brutal itulah, Mourinho sebagai manajer mengoleksi sejumlah gelar: semasa berada di Porto - Primeira Liga (2): 2002-03, 2003-04, Taca de Portugal (1): 2002-03, Supertaca Candido de Oliveira (1): 2003, UEFA Champions League (1): 2003-04, UEFA Cup (1): 2002-03.

Semasa memoles Chelsea - Premier League (2): 2004-05, 2005-06, FA Cup (1): 2006-07, League Cup (2): 2004-05, 2006-07, Community Shield (1): 2005.

Semasa menangani Inter Milan - Serie A (2): 2008-09, 2009-10, Coppa Italia (1): 2009-10, Supercoppa Italiana (1): 2008, UEFA Champions League (1): 2009-10. Dan semasa menjadi juru taktik di Real Madrid - La Liga (1): 2011-12, Copa del Rey (1): 2010-11, Supercopa de Espana (1): 2012.

Seluruh gelar itu musykil dihasilkan bila Mourinho tidak punya kemampuan mengolah kata. Ingat, bahwa ia pernah menerima pekerjaan pada 1992 sebagai penerjemah bagi manajer Bobby Robson di Sporting Lisbon, kemudian menjadi asisten pelatih dari 1994 sampai 1996.

Mourinho paham benar bahwa bernalar brutal pada hakekatnya menggunakan sembarang kata untuk menghasilkan banyak gagasan anyar dalam waktu dua kali 45 menit selama laga berlangsung.

Selama melatih pasukannya, Mourinho menggunakan dan mendayagunakan pensil untuk memproduksi serba aneka gagasan sebanyak-banyaknya.

Di ruang ganti pemain, ia menjelaskan skema taktiknya dengan menggunakan pensil atau alat tulis. Pensil atau alat tulis mewakili alur proses berpikir agar gagasan kreatif mengalir. Ada pernyataan klasik dalam dunia pendidikan bahwa, "Tidak akan terjadi apa-apa sampai anda berpikir dengan menggunakan pensil di atas secarik kertas".

Sampai-sampai sebuah harian Marca membuat ilustrasi mengenai "rahasia taktik Mourinho di kamar ganti pemain". Terungkap warta bahwa Mourinho menggunakan kata-kata sederhana dan akrab bagi para pemain untuk menjelaskan taktik yang njlimet agar mulus diterapkan di lapangan.

Bermodal pikiran brutal dengan dipoles kata-kata sederhana, Mourinho menjadi pelatih keempat, setelah Tomislav Ivic, Ernst Happel, dan Giovanni Trapattoni, yang mampu memenangi gelar liga sekurangnya di empat negara berbeda, yakni di Portugal, Inggris, Italia, Spanyol.

Pada Mei 2012, Mourinho kembali termotivasi dengan tantangan terus menangani Real Madrid dan menerima perpanjangan kontrak selama dua tahun. Ia bakal berada bersama Real Madrid sampai 2016. Memasuki 2013, Real Madrid menjalani masa yang tidak kelewat mulus, terlebih setelah kalah dari Borrusia Dortmund pada semifinal Liga Champions.

Sesudah pertandingan, Mourinho menyatakan, "Saya tahu bahwa saya dicintai oleh fans di Inggris. Media massa setempat kerapkali menilai saya dengan fair."

Pernyataan ini jelas-jelas memantik spekulasi bahwa ia berniat kembali ke Chelsea. Mourinho bersama tim asuhannya menerima pukulan telak dengan kalah 1-2 dari Atletico Madrid di final Piala Raja pada 17 Mei.

Mourinho bukan tanpa tindakan brutal. Perilaku favoritisme mengusik Mourinho ketika memperlakukan sejumlah pemain. Ia bahkan pernah mengarahkan telunjuknya ke mata Tito Vilanova pada Agustus 2011. Vilanova kala itu masih menjadi asisten pelatih Barcelona, Pep Guardiola.

Mourinho pantang menyerah mempertahankan gagasan-gagasannya. Untuk menyelamatkan Real Madrid, ia rela memberi segala sesuatunya. Ia pernah menangis di ruang ganti pemain sesudah dikalahkan Barcelona dalam leg pertama semi-final 2011.

Sederet predikat dilekatkan kepada Mourinho dari pribadi warna-warni, karismatis sampai sosok kontroversial. Dengan predikat itulah, Mourinho melenggang sebagai pribadi yang disebut-sebut punya "soundbite", segala perilaku dan pernyataannya laik siar, diburu bahkan dicari untuk disantap oleh mata publik bola dunia, khususnya media Inggris.

"Ia sangat populer. Saya yakin publik, utamanya insan media, bakal menyambut hangat dia," kata manajer timnas Inggris Roy Hodgson. Pengakuan itu dapat menghapus kesan bahwa Mourinho telah tersingkir bahkan teralienasi di Real Madrid.

Ketika ia meninggalkan Inter Milan pada 2010, banyak stasiun televisi mengarahkan kameranya kepada perjalanan kehidupan pribadinya.

Linangan airmata membasahi Mourinho dan sosok berpembawaan tegar asal Italia, Marco Materazzi di San Siro. Drama serupa terjadi di Chelsea antara 2004 dan 2007, ketika ia melakukan selebrasi kemenangan tim asuhannya.

"Mourinho terbaik. Bagi saya, ia terbaik. Ia memberi kami kepercayaan diri untuk menapaki dan meraih semua prestasi ini," kata Frank Lampard. Manajer Manchester United (MU) Alex Ferguson punya pernyataan menarik sebelum ia menyatakan mundur. "Semuanya itu dapat membuat saya kembali marah," kata manajer asal Skotlandia itu.

Meminjam pernyataan penulis sepak bola Inggris, Hugh McIlvanney, "Mourinho mampu bersikap sinis untuk memupuk segala reputasinya dan melumasi segala sukses yang dia raih."

Di hadapan Mourinho, sikap brutal lantas menjadi komedi kata-kata. Ia mengungkapkan bahwa hanya perlu lima menit untuk berbicara dan bersepakat dengan pemilik Chelsea, Roman Abramovich.

Ia mengatakan, "Ini keputusan yang mudah bagi saya. Saya bersua bos, saya bertemu dengan pemilik klub, dan dalam lima menit keduanya mencapai kata sepakat. Kami langsung bersetuju."

"Saya bertanya kepada bos `apakah anda memang menginginkan saya kembali?` dan bos bertanya balik kepada saya `anda ingin kembali ke sini? Dan dalam hitungan menit, keputusan telah diambil," katanya.

Jelas, bahwa Mourinho kembali ke lingkungan tempat ia menuai sejuta cinta. Apakah ia juga mampu menuai sukses sebagai mata uang yang berlaku di bursa valuta Liga Inggris?

Jelas, ia akan menginduk, kemudian mencari untuk menemukan anak buah yang pernah ia tangani semasa di Chelsea. Ia masih mengandalkan figur Petr Cech di bawah mistar, dan memperpanjang kontrak Frank Lampard selama setahun.

Apakah ia masih berharap kepada John Terry yang nota bene masuk kategori pemain veteran? Yang diperlukan secara mendesak, yakni melakukan rekonstruksi Chelsea, dengan meremajakan skuad The Blues.

David Luiz, pemain bertalenta meski kerapkali terkena cedera. Ia memang bukan pemain belakang andalan Mourinho, tetapi manajemen merasa pemain Brazil itu makin diperlukan di lini belakang. Masih ada Ashley Cole, dan Ryan Bertrand.

Tabiat pragmatis ditambah sikap brutal Mourinho melahirkan "Trio Amigos" Chelsea, yakni Juan Mata, Oscar dan Eden Hazard. Ini menjadi otot Chelsea di lini tengah, dengan didukung Luka Modric yang dibaptis menjadi kreator serangan.

Mourinho tidak ingin menjadi seperti botol yang tidak berguna kalau kosong. Ia terus bekerja bahkan ketika kehabisan energi dan gagasan. Mourinho ingin menjadi "botol yang dapat diisi", dengan bersikap mau mendengar publik pecinta bola Inggris.

Ia tenaga pemasaran yang handal, karena ia mau mengisi pendengarannya dengan kebutuhan dan keinginan konsumen.

Secara praktis, dalam kehidupan sehari-hari, anda tahu akan apa yang anda ingin lakukan, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana. Anda tidak dapat menduga jalan pikiran mana yang bermanfaat di kemudian hari, apalagi itu berkaitan dengan ide istimewa yang berterima bagi konsumen.

Hanya saja, Mourinho mendengar dan mencamkan pernyataan filsuf Sun Tzu, bahwa "meramalkan sebuah kemenangan yang dapat diramalkan oleh orang biasa, bukanlah puncak keahlian."

Rumusnya tunggal saja: mulailah berpikir brutal, sebrutal-brutalnya.

Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2013