Subsidi BBM yang berlangsung selama ini tidak sesuai ketentuan UU 30/2007 tentang Energi. Pasal 7 ayat (2) yang menyebutkan bahwa subsidi disediakan untuk kelompok masyarakat tidak mampu.
Jakarta (ANTARA News) - Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mendukung rencana kenaikan atau rasionalisasi Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi baik ada atau tidaknya kompensasi.
"Subsidi BBM yang berlangsung selama ini tidak sesuai ketentuan UU 30/2007 tentang Energi. Pasal 7 ayat (2) yang menyebutkan bahwa subsidi disediakan untuk kelompok masyarakat tidak mampu. Kenyataannya, subsidi BBM dinikmati lebih 70 persen oleh kelas menengah pemilik mobil pribadi dan sepeda motor bersilinder tinggi. Pengurangan subsidi BBM yang disertai kompensasi kepada masyarakat golongan ekonomi terlemah dimaksudkan untuk membenahi subsidi yang salah sasaran itu," kata Sekretaris Jenderal PPP, Romahurmuziy atau Romi melalui rilis yang diterima ANTARA News, Jakarta, Selasa.
Ditambahkan, harga BBM fosil yang murah, menghambat munculnya energi alternatif. Bahan bakar nabati, baik berbasis etanol maupun CPO tidak bisa bersaing. Bahan bakar alternatif seperti gas tidak berkesempatan tumbuh karena harganya relatif dekat dengan BBM bersubsidi.Ketiga, harga BBM bersubsidi Rp4.500 terlalu murah, jauh berbeda dengan harga BBM industri yang mencapai Rp9.300.
Bahkan, kata Romi, harga BBM Indonesia termurah di kawasan Asia Tenggara bila dibandingkan negara tetangga seperti Vietnam (RON 92) Rp15.553, Laos Rp13.396, Kamboja Rp13.298, Myanmar Rp10.340. Bahkan harga BBM bersubsidi Indonesia adalah yang termurah di dunia untuk ukuran negara net importer.
"Hal ini merangsang penyelundupan, baik kepada sektor industri dan pertambangan, maupun penyelundupan ke luar negeri. Bukti nyata adalah dugaan penimbunan/penyelundupan BBM oleh seorang oknum polisi di Papua. Jika seorang oknum AIPTU saja demikian, bukankah besar kemungkinan banyak lagi oknum lainnya," kata Ketua Komisi IV DPR RI itu.
Selain itu, kuota BBM bersubsidi yang ditetapkan DPR RI bersama pemerintah setiap tahunnya selalu terlampaui. Artinya, pertumbuhan tingkat konsumsi BBM bersubsidi selalu melampaui prediksi pertumbuhan konsumsi berdasarkan jumlah kendaraan.
"Disinyalir jebolnya kuota ini karena penyelundupan di mana-mana," katanya.
Sejak awal dekade 2000, Indonesia telah beralih status dari negara eksportir menjadi net importir minyak. Dengan importasi BBM dan minyak mentah yang mencapai lebih sepertiga dari kebutuhan nasional, harga BBM nasional sangat bergantung kepada harga internasional.
"Publik perlu diberikan pemahaman bahwa perlu pergeseran paradigma dalam meletakkan Indonesia dari eksportir menjadi importir. Akibat impor BBM yang terus naik, defisit fiskal membengkak sehingga mengancam neraca pembayaran," ujarnya.
Disebutkan juga, seperlima APBN kita tersedot untuk subsidi energi yang bersifat konsumtif. Ruang gerak belanja negara untuk sektor produktif yang lebih bersifat jangka panjang menjadi terbatas.
"Akibatnya daya saing yang tercipta di pasar internasional semu, didominasi oleh produk mentah yang mengandalkan buruh murah dan harga energi yang murah. Padahal murahnya harga energi karena disubsidi," kata Romi
Pewarta: Zul Sikumbang
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013