Jakarta (ANTARA) - Analis Bank Woori Saudara BWS Rully Nova menyatakan pelemahan rupiah dipengaruhi peningkatan yield obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) dan risiko geopolitik perang Palestina melawan Israel.

“(Kondisi geopolitik tersebut memberikan) risiko meningkatnya inflasi akibat kenaikan harga minyak. Akibatnya, investor akan risk off dengan mengalihkan investasi ke aset safe haven,” kata dia ketika dihubungi Antara, Jakarta, Kamis.

Adapun obligasi pemerintah AS 10 tahun naik 4,9 basis poin (bps) menjadi 4,896 persen.

Di sisi lain, rupiah melemah juga dipengaruhi kenaikan suku bunga BI-7 Day Reverse Repo Rate menjadi 6 persen atau sebesar 0,25 basis poin (bps) dari 5,75 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG BI.

Suku bunga deposit facility dan suku bunga lending facility juga naik masing- masing 0,25 bps secara berurutan menjadi ke level 5,25 persen dan 6,75 persen.

“Suku bunga dinaikkan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah. Kenaikan suku bunga akan memberikan dampak signifikan terhadap capital outflow di pasar keuangan Indonesia,” ucap Rully.

Menurut Analis Pasar Mata Uang Lukman Leong, rupiah melemah terhadap dolar AS yang rebound di tengah sentimen risk off di pasar karena pernyataan hawkish dari pejabat The Fed Christopher J. Waller dan John Williams.

“Weller mengatakan The Fed walau tidak akan menaikkan suku bunga pada pertemuan November 2023, namun bisa saja menaikkan suku bunga di pertemuan berikutnya. Sedangkan Willliam melihat suku bunga The Fed akan tetap tinggi untuk waktu yang lebih lama,” ungkapnya.

Pada penutupan perdagangan hari ini, mata uang rupiah melemah sebesar 85 poin atau 0,54 persen menjadi Rp15.815 per dolar AS dari penutupan sebelumnya sebesar Rp15.730 per dolar AS.

Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Kamis turut melemah ke posisi Rp15.838 dari sebelumnya Rp15.731 per dolar AS.

Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Nurul Aulia Badar
Copyright © ANTARA 2023