Surabaya (ANTARA) - Sejatinya, Hari Santri itu bukan bermakna khusus, apalagi hari khusus untuk santri. Bukan, tapi memiliki makna penting yakni tentang hubbul wathon minal iman (cinta Tanah Air adalah sebagian dari Iman).

Cinta Tanah Air (hubbul wathon) itu seperti cinta yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW dengan kerinduan/kecintaan Nabi kepada Mekkah, ketika dirinya berada di Madinah yang jauh dari tanah kelahirannya itu.

Sesuai jadwal, upacara peringatan Hari Santri Nasional 2023 akan dipimpin Presiden Joko Widodo, dengan komandan upacara Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, dipusatkan di Tugu Pahlawan Surabaya pada 22 Oktober 2023 pukul 07.00 WIB dan juga bisa diikuti secara virtual.

Tidak hanya upacara Hari Santri Nasional (HSN) di Tugu Pahlawan, rangkaian HSN 2023 juga mengandung makna historis, yakni rencana pertemuan Presiden dengan ulama setelah upacara HSN 2023 di kantor PCNU Kota Surabaya, yang merupakan tempat perumusan Resolusi Jihad oleh para ulama.

Rangkaian HSN 2023 juga diisi dengan pembacaan satu miliar Selawat Nariyah oleh jajaran NU dari pusat hingga desa pada Sabtu (21/10) jam 18.30 WIB yang juga bisa diikuti secara daring.

Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur yang mengagas "Pembacaan 1 Miliar Shalawat Nariyah" dalam rangkaian HSN 2023 pada Sabtu (21/10/2023) malam pada dua titik, yakni di eks gedung Markas Besar Oelama (MBO) Waru, Sidoarjo, dan di Masjid Nasional Al Akbar Surabaya (MAS).

"Pembacaan 1 Miliar Shalawat Nariyah dalam rangka Hari Santri 2023 itu merupakan instruksi PBNU kepada PWNU (provinsi), PCNU (kabupaten/kota), dan MWC NU (kecamatan) serentak se-Indonesia. Kalau PWNU lain mengadakan acara itu di kantor, maka PWNU Jatim mengadakan di MBO dan MAS.

PWNU Jatim menempatkan lokasi "Pembacaan Satu Miliar Shalawat Nariyah" dalam rangkaian Hari Santri 2023 di eks gedung MBO yang bersejarah, karena Hari Santri memiliki kaitan dengan sejarah perjuangan kaum santri untuk membela kemerdekaan negara yang dikenal dengan Pertempuran 10 November 1945.

Peristiwa Pertempuran 10 November 1945 itu ada kaitannya dengan peran kaum santri, yang hal itu bukan hanya di garda depan di kota Surabaya, tapi juga berangkat dari markas-markas perjuangan para ulama di daerah-daerah perbatasan ke arah Surabaya, seperti di Waru, Sidoarjo.

Dalam sejarahnya, MBO merupakan markas perjuangan para ulama, seperti KH Hasyim Asy'ari, KH Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, dalam menggembleng spiritualitas santri agar memiliki semangat juang yang dibuktikan dengan kemenangan Arek-Arek Suroboyo dan pemuda daerah lainnya untuk membela kemerdekaan yang sudah diproklamasikan Soekarno-Hatta. Spirit itu diperkuat dengan keluarnya Resolusi Jihad.


MBO

Terkait pembacaan satu miliar Selawat Nariyah pada HSN 2023 itu, Ketua Tim Pelaksana Renovasi dan Revitalisasi MBO PWNU Jatim, A Afif Amrullah M.EI, menjelaskan ribuan selawat itu secara teknis diberikan untuk masing-masing struktur kepengurusan NU dari pusat hingga ranting/desa.

Setiap satu titik akan membaca 4.444 selawat, yang kalau satu orang membaca 50 selawat, maka satu titik cukup 90-100 orang. Pembacaan satu Selawat Nariyah memerlukan waktu 30 detik, sehingga dibutuhkan untuk 50 selawat dibutuhkan hanya sekitar 25 sampai 30 menit atau setengah jam.

Dalam pembacaan Selawat Nariyah di MBO itu, Tim Pelaksana Renovasi/Revitalisasi MBO PWNU Jatim juga berencana meluncurkan penggalangan dana dari warga NU secara daring.

Pada renovasi itu, bentuk gedungnya tidak diubah, tapi halaman dan atap akan diperbaiki, karena Gedung MBO bisa menjadi tujuan wisata religi, sekaligus mengenalkan sejarah peran santri dan ulama dalam perjuangan. PWNU Jatim juga merencanakan penyusunan buku sejarah MBO.

Rencana revitalisasi itu merupakan kelanjutan dari "penyelamatan" MBO oleh tim bentukan PWNU Jatim pada 2016 yang telah sukses "menyelamatkan" eks gedung MBO itu dengan sertifikat atas nama Perkumpulan NU.

Revitalisasi untuk kepentingan historis itu pun merujuk pada buku "Perjuangan Laskar Hizbullah" oleh Isra Kayyis (cetakan 1 Tahun 2015, Unit Penerbitan Pesantren Tebuireng, Jombang) yang mencatat di halaman 193 bahwa pada tanggal 3 Desember 1945, Laskar Hizbullah dipindahkan ke Waru, menempati perumahan bekas Pabrik Gula.

Catatan itu menguatkan adanya markas ulama yang menjadi tempat penggemblengan pejuang-pejuang santri yang turut bertempur di Kota Pahlawan Surabaya, pada Pertempuran 10 November 1945. Bahkan, disebutkan bahwa markas itu merupakan tempat melakukan konsolidasi kekuatan yang ditempatkan di daerah di luar jangkauan artileri Sekutu.

Buku "TRI Hizbullah Berjuang" oleh Abdul Jalal SH yang terbit pada 11 September 1982 juga menyebut bahwa pasukan Hizbullah meminta agar surat undangan disebar kepada para ulama sekitar Jawa, minta doa ke kiai di markas Waru, Sidoarjo, Jatim.

Catatan lain yang menguatkan keberadaan MBO itu juga ditulis putra KH Hasyim Latief, yakni dr H Fathoni Rozi, dalam buku "Kyai Hasyim Latief, Pejuang dan Pendidik" (Penerbit Yayasan Pendidikan dan Sosial Ma'arif Sepanjang, Sidoarjo, cetakan Mei 2005, halaman 20) bahwa Kiai Hasyim Lathief siaga di markas kiai, Desa Pagerwojo, Waru, Sidoarjo, (barat Kota Surabaya).

Artinya, sejarah yang terkait Hari Santri perlu direvitalisasi untuk menunjukkan peran santri dan ulama dalam perjuangan bangsa. Lebih dari itu, Hari Santri juga penting untuk dimaknai dengan pentingnya semangat cinta Tanah Air.

Copyright © ANTARA 2023