Jakarta (ANTARA) - Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kementerian Koordinator bidang Perekonomian RI Wahyu Utomo menyatakan bahwa penderita penyakit thalasemia (kelainan darah) tetap bisa berkontribusi terhadap perekonomian negara.
Hal ini disampaikan Wahyu pada acara sosialisasi dengan tema "Memutus mata rantai thalasemia untuk Indonesia Emas 2045" oleh Kemenko Perekonomian bekerjasama dengan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati, Jakarta, pada Rabu.
"Pasien thalasemia juga bisa berkontribusi kepada negara, yang penting kita rawat, sehingga mereka juga bisa berkontribusi dalam pembangunan ekonomi," kata Wahyu.
Menurutnya, untuk menjadi bangsa yang tangguh dan menuju Indonesia Emas 2045, membutuhkan generasi yang berkualitas dan sehat, sehingga pembangunan infrastruktur dan Proyek Strategis Nasional (PSN) bisa terus dilanjutkan sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo.
"Pemerintah telah menginisiasi upaya dukungan terhadap thalasemia, di antaranya program transfusi darah yang rutin bagi penderita, penyediaan ketersediaan obat yang efektif, serta peningkatan fasilitas dan sumber daya manusia di rumah sakit rujukan thalasemia," ucapnya.
Ia memaparkan, kasus thalasemia di Indonesia meningkat tiga kali lipat sejak tahun 2012, dari 4.000 menjadi 12.000 di tahun 2023, dan menempati peringkat kelima penyerapan anggaran BPJS Kesehatan tertinggi.
Thalasemia memerlukan perawatan yang tidak murah, bahkan, pasien thalasemia mayor harus mendapatkan transfusi darah secara rutin seumur hidupnya, setiap 2-4 minggu sekali.
Untuk itu, ia menekankan pentingnya skrining mandiri sebagai upaya deteksi dini dan pencegahan thalasemia, utamanya pada pasangan yang akan melangsungkan perkawinan, mengingat thalasemia akan diwariskan kepada anak dari kedua orang tua yang membawa sifat.
"Kami tentunya ingin ikut berkontribusi memberikan pemahaman kepada masyarakat bagaimana kita bisa menghindari penyakit tersebut," kata dia.
Menurutnya, perlu dukungan dari orang tua untuk memberikan pengertian kepada anak-anaknya yang belum menikah agar rutin melakukan pemeriksaan kesehatan.
Baca juga: Yanti Airlangga ajak masyarakat skrining dini putus rantai thalasemia
Sementara itu, Direktur Operasional RSUP Fatmawati dr. Aldrin Neilwan memaparkan, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, rata-rata kunjungan pasien thalasemia di RSUP Fatmawati terus meningkat, dari tahun 2020 sebanyak 300 kunjungan per bulan, menjadi 350-400 kunjungan per bulan di tahun 2023.
"Jumlah pasien rutin thalasemia saat ini di RSUP Fatmawati adalah 117 orang pasien anak dan 65 pasien dewasa, dimana sebagian pasien dewasa adalah pasien yang sejak anak-anak telah menjadi pasien di RSUP Fatmawati," ujar dia.
Ia juga sepakat bahwa salah satu cara yang paling ampuh untuk mengatasi thalasemia adalah dengan pencegahan.
"Perawatan thalasemia yakni sekitar Rp500 juta per orang per tahunnya, sedangkan skrining thalasemia itu minimal Rp500 ribu untuk seumur hidup, jadi kan lebih mudah mencegah daripada mengobati," katanya.
Menurutnya, salah satu cara yang paling efektif memang mencegah penyakit ini sejak dini, dimulai dari sebelum menikah.
"Kejadian thalasemia yang terjadi akibat perkawinan pembawa sifat itu bisa dicegah dengan skrining, jadi kalau mau menikah, jangan dengan yang membawa sifat," tutur dia.
Baca juga: Orang tua anak penderita thalasemia puas dengan layanan program JKN
Baca juga: Anak-anak penderita Thalasemia rayakan peringatan Hari Anak Sedunia
Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2023