Keberangkatan enam santri Darunnajah itu merupakan tindak lanjut kunjungan Perdana Menteri Inggris Tony Blair ke Pesantren Darunnajah pada bulan Maret 2006.
"Kami baru memperbaharui nota kesepahaman antara Pondok Pesantren Darunnajah dengan The Holy Family Chatolic Keighley yang telah berlangsung selama tujuh tahun," ujar Pimpinan pesantren Darunnajah Sofyan Manaf kepada ANTARA London, Rabu.
Penandatanganan naskah kerja sama kedua sekolah tersebut dilakukan Sofyan Manaf dengan kepala sekolah The Holy Family Chatolic Keighley Lawrence Bentley yang disaksikan Atase Pendidikan KBRI London Fauzi Soelaiman, di Keighley, minggu lalu.
Menurut pemimpin proyek school link Rihma Ilfi Manaf, kerja sama pondok pesantren Darunnajah dalam kerangka kemitraan sekolah selama ini lebih ditujukan pada pertukaran guru .
Beberapa tahun lalu Pesantren Darunnajah menerima kunjungan para guru di Holy Family Catholic School yang diwakili Deputy Head Tracher Chris Bohillis, dan Assistant Head Teacher Frances Lynch.
Tahun ini program school link dikembangkan dengan pertukaran murid kedua sekolah .
Banyak pengalaman
Banyak hal yang menarik ditemui para pelajar Darunnajah di The Holy Family Chatolic Keighley saling berinteraksi dan mempelajari budaya dan kehidupan di Inggris.
Asna Yusrina (16) misalnya menceritakan pengalaman selama mengikuti school link.
"Paling berkesan yaitu berkenalan dengan banyak teman dari luar negeri dan berbeda beda agama," ucapnya Asna.
Asna Yusrina mengatakan berbicara dengan beda aksen, selain mengetahui beda budaya dan makanan yang tidak biasa dan juga merasakan cuaca yang sangat dingin.
Teman-teman di Keighley banyak yang bertanya tentang agama dan ajaran agama Islam dan juga tentang ber sekolah di pesantren dan asrama.
"Mereka juga bertanya apa murid putra dan putri campur," katanya.
Sikap hormat
Sementara itu Cahyani (17) dari Palangka Raya Kalimantan Tengah mengatakan pengalaman yang paling berkesan dalam mengikuti pertukaran pelajar di sekolah Katolik yang murid-muridnya sangat hormat terhadap para guru dan murid.
Pengalaman paling berkesan adalah menginap atau tinggal untuk pertama kalinya di rumah orang asing.
"Ternyata Dad ( ayah angkat) saya adalah mantan walikota," ujar Cahyani.
Ikut berkesempatan bersekolah di sekolah katolik (HFCS) Keighley juga sangat berkesan karena tidak pernah terbayangkan sebelumnya bisa berkomunikasi langsung dengan orang asing dalam waktu yang cukup lama 11 hari.
Cahyani juga mengakui teman di Keighley banyak bertanya seputar agama dan ajaran agama Islam.
"Mereka banyak bertanya tentang Islam," ujarnya.
"Kalian seorang muslim, tapi kenapa tidak semua muslim mengenakan jilbab," tanya mereka. Cahyani mengatakan tidak sulit menjawab pertanyaan rekannya karena setiap agama punya ummat yang taat dan kurang taat.
"Tetapi saya tidak mengatakan yang tidak berjilbab tidak taat hanya saja mungkin mereka belum siap untuk memakai jilbab," ujar Cahyani.
"bungkus dan tidak"
Selain itu, mereka juga bertanya apa bedanya wanita muslim yang pakai jilbab dan tidak pakai jilbab .
"Saya menjawab, seperti layaknya dua permen, yang satu pakai bungkus dan yang satu lagi tanpa bungkus. Mana yang kamu pilih. Dia akhirnya memilih yang memakai bungkus. Saya mengatakan itulah ibarat orang yang pakai jilbab dan tidak. Dia melihat sangat puas dengan contoh yang saya berikan," katanya.
"Dia mengatakan itu adalah briliant example," Katanya lagi.
Sementara itu, Nurul Fasivica (16) dari Medan Sumatera Utara menceritakan pengalaman yang paling berkesan adalah saat ia mengikuti semacam acara perpisahan di aula.
Di akhir acara semua murid yang beragama Kristen berbaris menuju bagian depan untuk mendapatkan sesuatu dari pendeta dan murid Muslim duduk dengan diam.
"Saya sangat terkesan karena toleransi beragama tinggi," ujar Nurul.
Oleh Zeynita Gibbons
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013