Bangkok (ANTARA News) - Para aktivis Myanmar mendesak sebuah konsorsiun Korea-India, Rabu, meninggalkan proyek gas lepas pantai mereka, khawatir dapat membawa pada pelanggaran hak asasi manusia dan membantu junta militer miliaran dolar dalam royalti.
Gerakan Gas Shwe Gas, satu kelompok di pengasingan di Bangladesh, India dan Thailand, mengimbau usaha patungan yang dipimpin Daewoo International untuk menghentikan berurusan dengan junta sampai negara itu mengakhiri lebih dari 40 tahun pemerintah militer di bekas Burma itu.
Dalam sebuah laporan berjuul "Pasokan dan Komando", kelompok itu mengatakan pendapatan 12 miliar dolar dari royalti dan pajak atas penjualan gas, terutama ke China dan India, akan membantu rejim yang dikenakan sanksi-sanksi Barat atas pelanggaran hak asasi manusia dan penehanan terhadap pemimpin demokrasi Aung San Suu Kyi.
Kelompok itu juga khawatir terulang kembali pelanggaran seperti penggunaan kerja paksa oleh satuan-satuan militer yang ditugaskan untuk menjaga proyek-proyek enerji lainnya. "Perusahaan-perusahaan--dan para pemegang saham mereka-- melakukan bisnis dengan SPDC mengenai proyek gas Shwe yang akan membantu setiap aksi kekerasan yang dilakukan tentara yang bekerja di proyek Shwe," katanya,mengacu pada junta yang dikenal sebagai Dewan Perdamaian dan Pembangunan Negara (SPDC).
Perusahaan-perusahaan Asia mengisi kevakumam investasi yang ditingalkan perusahaan-perusahaan Eropa dan AS didesak untuk meninggalkan Myanmar.
Seorang pejabat Daewoo mengatakan konsorsium itu tidak akan mundur.
"Sikap kami adalah bukan waktu yang tepat untuk membicarakan masalah pelanggaran hak asasi manusia karena kami masih dalam tahap penyelidikan ladang gas dan belum mulai menmbangun," kata pejabat itu di Seoul seperti dikutip Reuters.
Sejak ditemukannya satu deposit besar akhir tahun 2003, usaha patungan Korea-India telah melakukan penyelidikan ladang-ladang gas lepas pantai negara-negara bagian Arakan dan Chin, Myanmar barat.
Para pejabat Myanmar tidak bisa dihubungi untuk diminta komentar mereka.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006