"Pasal-pasal di dalamnya itu jangan hanya dibaca sepotong-sepotong, tapi hendaknya dibaca secara keseluruhan sehingga bisa dimengerti isi dan maksud pasal-pasal yang terurai di dalamnya," kata ketua Pansus RUUPA.
Jakarta (ANTARA News) - Rancangan Undang Undang Pemerintahan Aceh (RUUPA) yang disahkan menjadi UUPA dalam rapat paripurna DPR-RI, Selasa, bukan untuk memuaskan semua orang, tetapi lebih merupakan regulasi untuk melanggengkan perdamaian di Nangroe Aceh Darussalam, kata Ketua Panitia Khusus RUUPA, Ferry Mursyidan Baldan. "UUPA memang bukan untuk memuaskan semua orang tetapi merupakan alat perdamaian dan dalam penyusunannya kami juga sangat memperhatikan aspirasi masyarakat, laporan dari DPRD setempat, dan nota kesepatakan Helsinski," katanya di Jakarta, Selasa. Dia mengatakan, UUPA terdiri atas pasal-pasal yang disusun secara teliti dan penuh pertimbangan sehingga dibuat sedapat mungkin memperhatikan kepentingan masyarakat. Menurut dia, penolakan dari berbagai pihak terhadap UU tersebut mestinya tidak dilakukan sebelum pihak-pihak itu membaca secara detail pasal-pasal dalam UUPA. "Pasal-pasal di dalamnya itu jangan hanya dibaca sepotong-sepotong, tapi hendaknya dibaca secara keseluruhan sehingga bisa dimengerti isi dan maksud pasal-pasal yang terurai di dalamnya," katanya. Pro dan kontra seputar disahkannya RUUPA menjadi UUPA itu menurut dia merupakan hal yang wajar sebagai konsekuensi dari kehidupan yang demokratis, tetapi hendaknya jangan sampai melupakan tujuan awal disusunnya RUU PA itu. "Tujuan dari UU ini sangat mulia, yaitu untuk melanggengkan perdamaian di Aceh sehingga wilayah itu bisa memulai membangun diri," katanya. Dia mengatakan pertimbangan DPR menyetujui pengesahan RUU PA karena untuk merumuskan regulasi demi melanggengkan perdamaian di Aceh, perlunya upaya pembangunan di Aceh pasca Tsunami, dan menetapkan peraturan untuk daerah sangat istimewa, seperti Aceh, tapi tetap dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak bertentangan dengan asas konstitusi. Ketika ditanya seputar pro dan kontra tentang pelibatan perempuan dalam perspektif kesetaraan gender, dia meminta untuk dimaklumi. "Ruang bagi perempuan terhadap kehidupan kemasyarakatan dan institusi publik dalam UU ini yang hanya menyebutkan `dengan memperhatikan 30 persen keterlibatan perempuan`, jika ini dianggap belum memadai, kami meminta untuk dimaklumi. Namun sesungguhnya, hal tersebut akan menjadi suatu kenyataan jika kita semua `concern` dan `commited` terhadap hal itu," katanya. Selain itu, dia mengatakan semua keputusan dalam perumusan RUU PA dilakukan melalui musyawarah tanpa pemungutan suara sekalipun. "Semua materi di dalamnya disepakati melalui musyawarah tanpa voting jadi itu merupakan hasil kesepakatan bersama," katanya. Dia mengatakan UU itu menitikberatkan pada pelaksanaan pembangunan infrastruktur di Aceh, pendidikan, kesehatan masyarakat, ekonomi rakyat, dan masalah-masalah sosial, seperti kemiskinan yang bertujuan untuk keseimbangan kemajuan pembangunan antar-kabupaten/kota.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006