Posisi AS di Laut China Selatan masih `correct` dimana dia meminta negara-negara di kawasan untuk menjamin kebebasan bernavigasi."

Jakarta (ANTARA News) - Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Rizal Sukma mengatakan Amerika Serikat akan berpikir "lebih dari seribu kali" untuk ikut campur dalam sengketa di wilayah perairan Laut China Selatan, dimana sekutunya Filipina sedang bersitegang dengan China.

"Harapan Filipina agar AS membantu mereka langsung saat mereka berkonfrontasi itu masih tanda tanya, karena AS tidak akan mudah turun dalam konflik," kata Rizal kepada Antara di Jakarta, Kamis.

Menurut Rizal, hal itu juga diperkuat dengan sikap AS yang sudah mengukuhkan komitmennya untuk tidak mencampuri urusan konflik di Laut China Selatan selama jalur pelayaran yang menghubungkan akses perdagangannya tidak terganggu.

"Posisi AS di Laut China Selatan masih `correct` dimana dia meminta negara-negara di kawasan untuk menjamin kebebasan bernavigasi," ujarnya.

Filipina, selain mengharapkan dukungan dari AS, juga membawa masalah Laut China Selatan ke Mahkamah Internasional dengan acuan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS).

Negara pimpinan Presiden Benigno Aquino III ini juga menggencarkan diplomasinya di Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) untuk mendapat dukungan di Laut China Selatan.

Menurut Rizal, hal itu merupakan bagian dari multijalur diplomasi yang diupayakan Filipina, untuk menandingi China.

Di tengah situasi yang terus menegang di Laut China Selatan, dan upaya perwujudan Kode Tata Berperilaku (CoC), negara-negara di kawasan Asia Tenggara khawatir dengan eskalasi ketegangan antara Filipina, dengan China jika berujung pada konflik yang lebih luas.

Masalah Laut China Selatan ini juga dinilai mejadi kerikil untuk China yang ingin membangun citra sebagai negara yang maju pesat dan mengutamakan kedamaian.

Namun, di sisi lain, berkembangnya China ini juga menjadi tantangan untuk AS dan perlu menjadi sorotan negara-negara di kawasan, karena dikhawatirkan potensi rivalitas kedua negara muncul di Laut China Selatan dalam bentuk yang lebih luas.

Pada pekan lalu, Presiden Filipina Benigno Aquino mengumumkan anggaran sebanyak 1,82 miliar dolar AS untuk mempertahankan wilayah maritimnya dari para "pengganggu" di tengah persengketaan yang terus memburuk dengan China.

Filipina juga menyatakan tekad penuh untuk mempertahankan apa yang mereka sebut hak, sebagai respon atas aksi kapal-kapal perang China mengitari pulau karang di Laut China Selatan, yang diduduki marinir Filipina.

Sementara itu, hubungan Filipina dengan Taiwan (yang dianggap bagian dari China) menegang setelah terjadi penembakan oleh Pasukan Filipina terhadap kapal nelayan Taiwan dan menewaskan satu orang.

Taiwan menyampaikan protes dalam konteks negara yang berdaulat penuh. Pemerintah Taiwan pada 17 Mei, menyampaikan empat bentuk pertanggungjawaban yang harus dilakukan Filipina yakni permintaan maaf secara resmi, kompensasi untuk keluarga korban, segera melakukan penyelidikan terhadap pelaku penembakan, dan secepatnya menggelar negosiasi perjanjian kerja sama perikanan antara Taiwan dan Filipina, agar insiden serupa tidak terulang kembali. (I029/M014)

Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013