Di sisi lain, Kartono mengkritik industri rokok di Indonesia memiliki kebebasan hampir absolut untuk memasarkan produknya kepada anak-anak dan remaja, tanpa ada kebijakan kuat untuk membatasi.
"Belanja iklan industri rokok dapat menghabiskan hingga Rp2 triliun per tahunnya. Karena itu, pemerintah tidak boleh lagi menunda melarang iklan rokok, promosi, dan sponsor secara menyeluruh di Indonesia," kata dia dalam diskusi polemik iklan rokok di Jakarta, Kamis.
Ia mengungkapkan, penelitian yang dilakukan di Jakarta menunjukkan 99,7 persen remaja melihat iklan rokok di televisi, 86,7 persen remaja melihat di media luar ruang, 76,2 persen remaja melihat di koran dan majalah, dan 81 persen remaja melihat di berbagai kegiatan yang disponsori industri rokok.
Hal senada disampaikan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait yang menilai iklan, promosi, dan sponsor rokok harus total dilarang karena 70 persen remaja merokok karena pengaruh iklan.
"Menurut penelitian yang dilakukan Komisi Nasional Perlindungan Anak pada 2007, menunjukkan 70 persen remaja merokok karena pengaruh iklan. Karena itu ia menekankan iklan, promosi, sponsor, dan CSR rokok harus dilarang," ujar Arist.
Dia menilai iklan dan promosi rokok telah memotivasi anak dan remaja menjadi perokok pemula.
"Tak terbantahkan lagi itu adalah strategi dan sebuah gerakan untuk menggiring anak menjadi perokok pemula untuk mengganti orang dewasa yang sakit dan meninggal dunia. Iklan tersebut juga membuat imej bahwa rokok itu barang yang normal, atau biasa saja," kata dia.
Ia menyebutkan perokok di atas 10 tahun akan loyal merokok sehingga tak ada alasan bagi industri untuk mengatakan iklan mereka tidak menyasar anak dan remaja.
"Ada 45 juta keluarga perokok indonesia, maka ada 45 juta itu balita terkepung asap rokok, kalau terkepung asap rokok itu maka kesehatannya terganggu. Ilham usia 2 tahun merokok sampai 4 tahun menghabiskan 40 batang sehari," kata dia.
Pewarta: Azis Kurmala
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2013