"Penasehat hukum terdakwa dalam pledoinya menyatakan kami mengabaikan keterangan saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan, mengingat memang tidak ada satu aturan pun mewajibkan jaksa atau hakim mempertimbangkan keterangan saksi ahli," kata Dwi di Pengadilan Negeri Blambanganumpu Waykanan, Rabu.
Menurut JPU itu, tidak ada aturan dalam hukum pidana mewajibkan jaksa dan majelis hakim memakai atau mempertimbangkan saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan.
"Karena itu, kesaksian seorang saksi ahli tidak menjamin terbebas terdakwa dari jeratan hukum, apalagi saksi tersebut memiliki tendensi terhadap salah satu pihak berkepentingan," kata dia.
Sementara penasehat hukum tidak sependapat dengan pengertian kekerasan yang dipakai JPU, dan memilih menggunakan definisi kekerasan dalam pasal 89 KUHP, yakni "yang disamakan dengan melakukan atau menggunakan kekerasan ialah membuat orang pingsan atau tidak berdaya".
Pada 29 Agustus 2012, Sari Asih Sosiawati mencubit muridnya, anak Erwansyah, pemilik Hotel Intan Baradatu, sehingga kemudian dilaporkan oleh Erwansyah ke polisi.
"Penasehat hukum terdakwa menyatakan perbuatan Asih seperti halnya tindakan dokter gigi mencabut gigi pasiennya. Meski menimbulkan rasa sakit tapi tidak dapat dipidana karena masih dalam profesinya sebagai seorang guru, pada jam pelajaran dan dalam konteks mendidik," kata dia.
JPU menilai, hal itu justru tidak bisa disamakan, karena memang sangat berbeda, dokter mencabut gigi pasien merupakan tindakan medis yang diizinkan undang-undang bahkan diatur jelas dalam ilmu kedokteran sebagai jalan penyembuhan, dan yang terpenting ada izin dari pasien.
Tindakan kekerasan menurut Dwi akan berdampak negatif pada psikologis siswa, sehingga anak akan menyimpan dendam dan makin kebal hukuman.
"Perbuatan tersebut hanya membuat lingkaran kekerasan di masyarakat, dan tidak selayaknya anak seusia saksi korban mendapat kekerasan," kata Dwi.
Pewarta: Gatot Arifianto
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2013