Jakarta (ANTARA News) - Indikasi adanya aksi "pemboncengan" oleh Amerika Serikat atas sikap Filipina dalam sengketa Laut China Selatan, menurut pakar hubungan internasional Universitas Indonesia, Makmur Keliat, membuat sejumlah negara ASEAN enggan bergerak membantu mereka terkait isu tersebut.
"Kemungkinan besar terdapat beberapa negara ASEAN yang merasa bahwa Filipina telah memanipulasi isu Laut China Selatan untuk mendapat dukungan dari AS," kata peneliti yang juga aktif di Pusat Studi ASEAN UI tersebut, saat dihubungi di Jakarta, Selasa.
Menurut Makmur, meskipun sempat terangkat lagi di Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Phnom Penh pada bulan lalu, isu Laut China Selatan belum bergerak menuju arah yang positif dan menemui konsensus.
"Bagi negara tertentu, Kamboja misalnya, mereka kan sangat dekat dengan China, tetapi di lain sisi mereka berpandangan bahwa Filipina tidak senetral itu juga," ujar dia.
"Orang sekarang menuduh Kamboja sangat dengan China, tapi pada saat yang bersamaan tidak berarti Filipina tidak melakukan hal serupa terhadap AS," kata Makmur menambahkan.
Oleh karena itu, Makmur menegaskan bahwa isu sengketa wilayah perairan di Laut China Selatan bukan lagi terbatas permasalahan di antara negara-negara ASEAN saja.
"Isu Laut China Selatan itu memiliki dimensi ekstraregional, dalam pengertian tidak hanya menyangkut negara-negara ASEAN saja tetapi juga negara-negara luar kawasan. Ya termasuk AS dan Jepang," ujar Makmur.
"Indikasinya ada kepentingan-kepentingan strategis itu tadi," kata dia menambahkan.
Di sisi lain, Makmur melihat ASEAN pada akhirnya tidak memiliki kesatuan sikap terkait isu sengketa wilayah di Laut China Selatan, kalaupun ada tidak konkrit dan hanya bermain di tataran umum.
"Sangat-sangat general sifatnya (sikap ASEAN), karena ASEAN itu selalu bertolak pada konsep Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama (TAC)," ujar dia.
Makmur menyatakan konsep itu memang menegaskan bahwa tidak diperbolehkan menggunakan kekerasan ataupun sekadar ancaman kekerasan.
"Sampai sekarang bagaimana menerjemahkannya masih menjadi suatu tanda tanya yang sangat besar," kata dia.
"Terlebih ASEAN juga masih memiliki konflik bilateral internal yang kerapkali tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan kawasan," ujarnya menambahkan.
Menurut Makmur, di tataran normatif ASEAN mengusulkan kerangka kesepakatan regional, namun pada praktiknya yang muncul justru pendekatan bilateral,
"Karena itu tidak bisa disalahkan jika China cenderung untuk mengambil pendekatan bilateral ketimbang kawasan dalam penyelesaian sengketa di Laut China Selatan itu," ujar dia.
Pada pekan lalu, Presiden Filipina Benigno Aquino mengumumkan anggaran sebanyak 1,82 miliar dolar untuk mempertahankan wilayah maritimnya dari para "pengganggu".
Dalam komentar terselubung yang dinilai mengacu ke China, Benigno kala berpidato pada peringatan ulang tahun ke-115 angkatan lautnya, bersumpah angkatan bersenjata akan diberikan kebutuhan penting untuk melindungi kedaulatan Filipina.
"Kita memiliki pesan yang jelas untuk dunia : Filipina untuk warga Filipina, dan kami memiliki kemampuan untuk melawan gangguan yang memasuki wilayah kami," katanya kepada pasukan angkatan laut.
Presiden merincikan sebesar 75 milar peso atau 1,82 miliar dolar AS (sekitar Rp17,5 triliun) dalam program modernisasi militer menjadi prioritas untuk meningkatkan kemampuan angkatan laut, yang dinilai terlemah di Asia Tenggara.
Dia mengatakan pada 2017, Filipina akan memiliki dua kapal pengawal baru, helikopter dengan kemampuan anti serangan kapal selam, tiga kapal cepat untuk patroli pantai dan delapan kendaraan serbu amfibi. (*)
Pewarta: Gilang Galiartha
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013