Harapannya penelitian ini nantinya bisa menghasilkan terobosan yang bermanfaat bagi industri-industri terkait

Yogyakarta (ANTARA) - Peneliti sekaligus dosen Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) Hanifrahmawan Sudibyo memanfaatkan mineral lempung sebagai katalis untuk mengolah kotoran sapi menjadi bio oil sebagai sumber energi alternatif.

Salam keterangan resmi UGM di Yogyakarta, Jumat, Hanifrahmawan mengemukakan riset mendalam pengembangan katalis berbasis mineral lempung untuk mengolah limbah biomassa, khususnya kotoran sapi, mengingat jumlahnya cukup besar di Indonesia.

"Harapannya penelitian ini nantinya bisa menghasilkan terobosan yang bermanfaat bagi industri-industri terkait," katanya.

Data BPS menunjukkan bahwa jumlah sapi potong di Indonesia lebih dari 19 juta ekor pada tahun 2022. "Jika diasumsikan bahwa setiap ekor sapi menghasilkan sekitar 87 kilogram (kg) kotoran basah setiap hari dengan kadar air 90 persen, maka secara keseluruhan terdapat sebanyak 570 juta ton kotoran sapi (wet basis) per tahun di Indonesia," katanya.

Hanifrahmawan mengatakan salah satu teknologi untuk mengolah kotoran sapi menjadi biogas yang kaya gas metan adalah anaerobic digestion.

Baca juga: Perusahaan Jepang sulap kotoran sapi jadi bahan bakar roket

Biogas yang dihasilkan, kata dia, selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar, sumber panas, dan sumber energi pembangkit listrik, serta dapat disuntikkan ke jaringan gas alam setelah dimurnikan.

Hanya saja, kata dia, anaerobic digestion masih menghasilkan residu yakni digestate berupa campuran basah matriks organik dan anorganik yang kaya serat lignoselulosa yang tidak dapat dicerna dan nutrisi yang komposisinya sangat bergantung pada karakteristik substrat yang diproses.

Digestate itu, menurut Hanif, biasanya dimanfaatkan sebagai pupuk dengan cara disebar langsung atau dikomposkan terlebih dahulu sebelum disebar di lahan pertanian dan padang rumput.

Namun, menurut dia, cara itu berpotensi melepaskan gas rumah kaca yang masih terfiksasi di dalam digestate, membentuk aerosol garam amonium yang dapat mencemari udara, menyebabkan fitotoksisitas pada tanaman serta menyebarkan patogen.

"Salah satu proses yang dapat digunakan untuk mengolah digestate adalah teknologi HydroThermal Liquefaction (HTL) atau pencairan hidrotermal," katanya.

Baca juga: UGM olah ampas tebu jadi silika gel

Dengan demikian proses ini dapat memproses bahan baku dengan kadar air yang tinggi tanpa harus melewati proses pengeringan layaknya pada proses pirolisis dan gasifikasi.

"Jadi, konsumsi energinya jauh lebih rendah," kata Hanifrahmawan.

Ia menjelaskan proses HTL pada penelitian ini menggunakan sejumlah mineral lempung sebagai katalis.

Menurut dia, mineral lempung yang diuji merepresentasikan berbagai kelas filosilikat yaitui kaolinite, montmorillonite, talc, vermiculite, phlogopite, meixnerite, attapulgite, dan alumina.

"Evaluasi yang komprehensif pun telah dilakukan terhadap berbagai mineral lempung yang tersedia secara alami dan komersial," ucapnya.

Hanifrahmawan melakukan riset tersebut bersama dengan Budhijanto PhD (Departemen Teknik Kimia, FT UGM) dan Dr Eng Adhika Widyaparaga (Departemen Teknik Mesin dan Industri, FT UGM).

Tim peneliti UGM berencana untuk meneliti lebih dalam lagi mengenai pengembangan katalis berbasis mineral lempung ini untuk valorisasi berbagai limbah biomassa basah yang jumlahnya signifikan di Indonesia.

Baca juga: Tim Riset ITB ubah kotoran sapi jadi material produk sehari-hari

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2023