Kesetaraan di depan hukum ini tentu dalam praktiknya tidak seratus persen merepresentasikan keadilan."
Jakarta (ANTARA News) - Penegakan hukum sebagai panglima agaknya belum menjadi jargon popular dalam sejarah perjalanan berbangsa dan bernegara.
Yang paling akrab di telinga publik selama ini adalah politik sebagai panglima.
Reformasi sebenarnya punya salah satu tujuan strategis, yakni membalikkan fenomena politik sebagai panglima menjadi hukum atau tepatnya penegakan hukum sebagai panglima.
Artinya, dalam praksis bernegara, hukum harus dijadikan pegangan utama dalam setiap menyelesaikan persoalan, bukannya penyelesaian politis yang menjadi dasar orang merumuskan konsep politik sebagai panglima.
Ketika reformasi bergulir, dan rezim Orde Baru tumbang, beberapa saat kemudian pengamat politik Eep Saifulloh Fatah menulis: presiden di masa mendatang harus dipagari secara kuat oleh hukum yang dilahirkan oleh legislator yang terpilih secara demokratis.
Pernyataan dosen FISIP Universitas Indonesia itu mengisyaratkan perlunya hukum dijadikan panglima dalam perjalanan bangsa ke masa depan.
Dalam konteks penegakan hukum sebagai panglima itu pulalah pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam perayaan Dharmasanti Tri Suci Waisak 2557 harus dimaknai dan ditempatkan dalam koridor perjalanan bernegara ke depan.
Dalam kesempatan itu Presiden mengatakan akan terus melindungi kebebasan warga negara dalam menjalankan ibadah sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi.
Semua kelompok dan golongan memiliki hak serta kewajiban yang sama. Ini juga telah menjadi nafas konstitusi di Tanah Air.
Penegakan hukum untuk menjamin ketertiban bernegara memang menjadi tugas kalangan polisi dan aparat penegak hukum lainnya seperti jaksa dan hakim di pengadilan.
Tapi efektivitas penegakan itu akan mencapai kondisi optimal ketika masyarakat yang menjadi sasaran penegakan hukum itu ikut andil dalam proses penegakannya.
Sekuat apapun penegak hukum menjalankan fungsi dan tugasnya, jika mayoritas masyarakat melakukan penggerogotan terhadap aturan lewat tindakan main hakim sendiri atau melakukan represi terhadap kelompok minoritas, maka bisa diprediksi bahwa hasilnya tak akan maksimal.
Hal seperti itulah yang terjadi dalam aksi anarkis di manapun dan kapanpun. Tak cuma di wilayah domestik tapi juga di wilayah mancanegara.
Berbagai konflik dan tindak anarkis sulit hanya bisa dilakukan penyelesaiannya oleh penegak hukum semata.
Perlu andil masyarakat secara luas untuk memelihara harmoni agar konflik dan anarkisme terhidar dalam perjalanan bangsa ke depan.
Di Indonesia, seperti yang juga disadari betul oleh para elit negeri ini, konflik yang dipicu oleh persoalan iman masih menjadi persoalan yang bisa meledak sewaktu-waktu.
Ancaman konflik semacam itu sudah menjadi konsekwensi logis dari kondisi Indonesia yang merupakan bangsa dengan warganegara yang multietnis dan multikepercayaan.
Kesadaran bahwa semua warga, dari berbagai kelompok manapun, baik yang mayoritas maupun minoritas, harus saling menengang rasa merupakan imperatif utama.
Tak ditoleransi muncul perasaan bahwa kelompok yang satu berada di atas kelompok yang lain.
Semua kelompok mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Inilah esensi negara hukum, negara yang memandang semua warganya setara di depan konstitusi.
Kesetaraan di depan hukum ini tentu dalam praktiknya tidak seratus persen merepresentasikan keadilan. Huhungan antara persamaan di depan hukum dan nilai keadilan sering dilematis. Pakar hukum JE Sahetapy sering mengingatkan soal itu.
Karena persamaan semacam itu maka ketika dipraktikkan akan terjadi ketidakadilan.
Buktinya sangat sederhana, seorang yang berharta akan dengan mudah memenangi perkara di pengadilan karena kemampuannya menyewa para pengacara jempolan sementara warga miskin akan kesulitan untuk mendapatkan pengacara yang ulung.
Namun ikhtiar untuk mempersempit jurang ketidakadilan semacam itu telah dijembatani oleh hadirnya lembaga-lembaga bantuan hukum yang bertugas untuk memberikan layanan pembelaan secara cuma-cuma, meskipun hasilnya tak sememuaskan kalau yang bersangkutan sanggup menyewa pengacara terkemuka.
Rentannya bangsa majemuk seperti Indonesia terhadap ancaman konflik antariman kini tampaknya akan menjadi kepedulian ekstra penyelenggara negara, khususnya mereka yang berwenang dalam penegakan hukum setelah Presiden SBY menegaskan tekadnya untuk menjaga harmoni antarumat beragama.
Selama ini kalangan aktivis hak asasi manusia melihat aksi-aksi main hakim sendiri yang dilakukan kelompok mayoritas terhadap minoritas dalam berbagai peristiwa di Tanah Air sebagai cermin sikap pembiaran dari aparat penegak hukum.
Presiden ingin menghapus kesan tentang sikap pembiaran yang dilakukan aparan terhadap tindak anarkisme mayoritas terhadap minoritas itu.
Tekad Presiden sebagai kepala negara itu harus diterjemahkan di lapangan secara konkret oleh aparat penegak hukum untuk tidak membiarkan lagi anarkisme seperti aksi perusakan dan penyegelan rumah-rumah ibadah milik kelompok minoritas.
Sesuai dengan konstitusi, kata Presiden, negara akan terus menjalankan tugas melindungi hak-hak warga negara dalam menjalankan ibadah dan kepercayaan masing-masing.
Barangkali untuk merealisasikan perkataan Presiden itu perlu diwacanakan bahwa setiap aksi kaum mayoritas yang melakukan anarkisme terhadap minoritas adalah merupakan refleksi upaya merongrong keutuhan bangsa yang berdiri di atas warga yang majemuk.
Untuk itu, hukuman terhadap mereka yang melakukan teror maupun anarki berlandasan konflik antariman perlu diperberat sebagaimana hukuman yang dijatuhkan pada mereka yang melakukan rongrongan atau aksi subversif terhadap keutuhan negara.
Penegakan hukum yang diupayakan secara optimal akan melahirkan tatanan masyarakat yang solid sehingga upaya semacam itu sudah menjadi keniscayaan.
Di situlah signifikansi penegakan hukum sebagai panglima, untuk menggantikan paradigma dan praksis politik sebagai panglima yang pernah terjadi di Tanah Air, teristimewa saat perjuangan reformasi belum menuai hasil pada era sebelum 1998.
(M020/A025)
Oleh M. Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013