Alam adalah dewa tertinggi di mana manusia dapat memetik manfaatnya dan belajar dari kesalahannya yaitu bencana

Nagoya (ANTARA News) - Siapa saja yang kebetulan berkesempatan melancongiJepang, pasti merasakan dan menyaksikan kawinnya tradisi dan modernitas dinegeri ini.

Itu terlihat pada apa dan siapa saja serta di mana saja. Negeri ini serbaotomatis, namun nilai-nilai dan praktik-praktik tradisionalnya tetaplestari. Semua itu tersaksikan oleh setidaknya sepanjang perjalanan ANTARANews dari Nagoya sampai Toyota City di Prefektur Aichi, hingga kawasanpegunungan di Hakone, Prefektur Kanagawa.

Rasanya, tak ada satu pun di dunia ini yang sukses mempertahankanbudaya tradisionalnya dan saat bersamaan menjadi acuan global untukmodernitas dan kemajuan, kecuali Jepang.

Termenarik dari negeri ini adalah kesangatfokusannya pada fungsi dankesederhanaan.

"Di Jepang ini segalanya sederhana," kata Zulkifli Ibrahim yang selamakurang dari seminggu memandu Antara dan beberapa wartawan Indonesia dalamsatu acara di Nagoya, Jepang.

Kesederhanaan yang sama sekali tak meninggalkan detail itu tergambar dimana-mana. Di rumah-rumah, di jalan tol, restoran, gedung-gedung, pusatperbelanjaan, kamar hotel, dan seterusnya.

Banyak yang menyebutkan bahwa kesederhanaan itu berpijak pada filosofiwabi-sabi. Orang-orang Barat menyebut filosofi ini sebagai caramenikmati keindahan dari keseharian hidup.

"Hidup orang Jepang itu tak pernah neko neko," sambung Zulkifli yang sudahpuluhan tahun menjadi pemandu turis dan mengaku memiliki keluarga pula diIndonesia, kendati dia berkewarganegaraan Singapura.

Kesederhanaan dan daur ulang begitu menonjol dari prinsip hidupwabi-sabi. Salah satu contoh mutakhir dari perwujudan prinsip hidup iniadalah konsep "mobil hibrida" yang dilahirkan dan dikembangkan massif olehraksasa otomotif Jepang, Toyota Motor Corporation.

Mobil hibrida adalah gambaran dari orientasi hidup serba fungsional danefisien yang merepresentasikan pandangan hidup orang Jepang. Bahkan, jikadikaji lebih dalam, mobil hibrida adalah hasil perenungan panjang manusiadalam menyelami keterbatasan manusia dan alamnya.

Wabi-Sabi

Akar wabi-sabi adalah dari filosofi Zen yang merujuk pada hidup hemat,peduli pada alam dan hidup demi keseharian.

Sabi merujuk apresiasi terhadap hal dan barang lama, sementara wabi berelasi dengan ketaksempurnaan dan siklus alam.

Apresiasi terhadap alam dan peninggalan leluhur inilah yang membuat orangJepang begitu menjaga warisan leluhurnya. Tak hanya tata krama, tapisegala hal yang ditinggalkan nenek moyangnya yang kemudian mereka wariskanuntuk anak cucunya kelak.

Ini termasuk hutan, dan gedung-gedung peretas jati diri mereka, termasukIstana Nagoya dan Kuil Atsuta Jungu yang awal pekan lalu dikunjungi Antaradan sejumlah wartawan Indonesia.

Meski orang Jepang tampaknya bisa menciptakan inovasi dan kemajuan apasaja, mereka umumnya bukan manusia yang melebih-lebihkan sesuatu. Merekatidak pula mengobral hasrat yang membuat mereka selalu dalam kendali diri.

Mungkin ini yang membuat mereka terlihat begitu menjaga diri yang kemudianterlihat oleh orang di luar Jepang sebagai hidup penuh disiplin.

Dalam diri mereka tumbuh pengendalian diri yang luar biasa sehingga hukumyang ditetapkan otoritas sepertinya hanya pengingat untuk tatanan yangmemang sudah disiplin.

Bagi mereka, berbuat baik kepada orang lain sama halnya menghargai dirimereka. Memelihara alam sama halnya menjaga nyawa mereka.

Untuk itulah mereka tak pernah membuang sampah sembarangan, tak menyerobotmobil orang sembarangan, dan rendah sekali angka kejahatannya. "Negeriyang amat aman dan rapi sekali," ujar seorang rekan wartawan dari India.

Bahkan andai barang Anda yang tertinggal di keramaian pun, Anda tak perlurisau orang lain mengambilnya.

Orang Jepang juga hidup dalam modernitas yang modernitas itu sendirimenjadi acuan dunia, namun mereka rata-rata hidup secukupnya.

Mereka pekerja keras yang meraih segala sesuatu dengan keras, tapikekerasan hidup tak membuat mereka rakus. Sebaliknya, mereka sepertimensyukuri hidup dengan tidak berlebih-lebihan.

"Rumah yang mewah dan makanan lezat hanyalah kenikmatan sesaat. Rumahyang tak bocor dan selalu ada makanan itu sudah cukup," tulis Sen noRikyu, penulis klasik dari abad 16 yang mengarang karya agung "Nanporoku".

Negeri hibrida

Tak dipungkiri lagi orang Jepang suka pada capaian-capaian budaya bangsalain, khususnya Barat. Pada beberapa hal mereka tak segan menirunya,seperti terlihat pada Nagoya TV Tower yang mirip menara Eiffel di Paris,Prancis.

Kendati senang mengawinkan masa kini dengan masa lalu atau modernitasdengan lokalitas, kedua kutub ini tak saling menghilangkan. Modernitas takmenyingkirkan tradisi lokal, sebaliknya tradisi lokal dengan cantikberdamai dengan modernitas.

Sejumlah orang menyebut Jepang telah terwesternisasi, tapi yang sebenarnya terjadi adalah negeri ini semata memodernisasi diri. Westernisasi itu berbeda darimodernisasi"Westernisasi berarti tergantinya unsur budaya Timur oleh budaya Barat.

"Sebaliknya modernisasi adalah meremodel sistem budaya serapan itu menjadisatu model baru," tulis mendiang guru besar studi agama Universitas Tokyo,Profesor Hideo Kishimoto.

Jepang, pada banyak hal, lebih termoderenkan, bukan terwesternisasi,karena unsur lokal mereka tidak hilang, sebaliknya kawin membentuk budayabaru.

Perkawinan modernitas dan lokalitas ini tak hanya terwujud pada budaya,namun juga pada pembangunan fisik alam mereka.

Ini misalnya terlihat dari rangkaian hutan lebat yang mengerumunijalan-tol dan terowongan-terowongan berarsitektur modern di sepanjangNagoya ke Toyohashi yang sama-sama berada di Prefektur Aichi, sampaiHakone di Prefektur Kanagawa.

Perkawinan modernitas dan lokalitas itu juga terlihat pada tempat-tempatwisata seperti tempat-tempat pemandian air panas di Hakone semisalYunessun Spa Resort.

Di sini, air panas yang juga ada di daerah-daerah Indonesia sepertiCiateur di Jawa Barat, ditata dengan mengawinkan unsur klasik dan modern,di antaranya lewat bentukan kolam-kolam air panas beraroma teh, anggur, dankopi.

Tapi perkawinan dua unsur berbeda ini tak merusak keseimbangan alam danlahan. Orang Jepang sadar ketakseimbangan akan mencipta anomali yangkemudian menghadiahi manusia dengan bencana.

Bagi mereka, alam yang menurunkan kebaikan dan bencana adalah guru, bahkandewa.

"Alam adalah dewa tertinggi di mana manusia dapat memetik manfaatnya danbelajar dari kesalahannya yaitu bencana," kata seorang pria lanjut usiayang tiba-tiba menjumpai dan menceramahi kami di Kuil Atsuta Jungu,Nagoya.

Sayang, pria mulia yang kemudian dipanggil Zulkifli dengan "Pak Budi" inienggan menyebutkan namanya.

Yang jelas, "hibrida" ini bahkan ditemukan di Gunung Fuji yang ditunjukkanoleh jalan mulus besar berujungkan kompleks perbelanjaan besar di tengahgunung yang menyatu dengan keindahan Fuji yang menjadi saksi dan inspirasiperjalanan sejarah bangsa Jepang.

Intinya, modernitas dan tradisi lokal membuat Jepang bagai mobil hibridayang pada dasarnya memadukan keoptimalan fungsi dan kepedulian menjagaalam tetap bersih, demi manusia sekarang dan mendatang.

Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2013