Havana (ANTARA News) - Pemerintah Kolombia dan pemberontak kiri mencapai sebuah perjanjian mengenai reformasi tanah, salah satu masalah paling diperdebatkan selama negosiasi perdamaian yang berlarut-larut, kata kedua pihak, Minggu.
Menurut perjanjian antara pemerintah dan kelompok pemberontak Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (FARC), kompensasi akan diberikan kepada penduduk yang kehilangan tanah atau meninggalkan rumah mereka akibat konflik, kata diplomat Kuba Carlos Fernandez de Cossio, yang negaranya menjadi tuan rumah negosiasi yang telah berlangsung berbulan-bulan.
Sejauh ini perundingan di Pusat Konvensi Havana dipusatkan hampir seluruhnya pada reformasi tanah -- yang pertama dari lima pokok persoalan yang dibahas.
Distribusi tanah merupakan salah satu penyulut konflik puluhan tahun di Kolombia, dimana terjadi ketimpangan yang dalam antara pemilik tanah yang kaya dan petani yang miskin.
Kedua delegasi akan beristirahat selama beberapa hari dan kemudian melanjutkan pembicaraan mengenai partisipasi politik.
Masalah-masalah penting lain yang akan dibahas adalah obat terlarang, penonaktifan senjata dan penanganan korban konflik bersenjata yang selama hampir setengah abad melumpuhkan Kolombia.
Kekerasan masih terus berlangsung meski upaya-upaya perdamaian dilakukan oleh kedua pihak.
FARC, kelompok gerilya kiri terbesar yang masih tersisa di Amerika Latin, diyakini memiliki sekitar 9.200 anggota di kawasan hutan dan pegunungan di Kolombia, menurut perkiraan pemerintah. Kelompok itu memerangi pemerintah Kolombia sejak 1964.
Sejak November kelompok itu melakukan perundingan dengan pemerintah Kolombia, meski bentrokan-bentrokan terus berlangsung tanpa adanya gencatan senjata.
Pemerintah Kolombia dan FARC memulai dialog di Oslo, ibu kota Norwegia, pada 18 Oktober yang bertujuan mengakhiri konflik setengah abad yang telah menewaskan ratusan ribu orang. Perundingan itu dilanjutkan sebulan kemudian di Havana, Kuba.
Tiga upaya sebelumnya untuk mengakhiri konflik itu telah gagal.
Babak perundingan terakhir yang diadakan pada 2002 gagal ketika pemerintah Kolombia menyimpulkan bahwa kelompok itu menyatukan diri lagi di sebuah zona demiliterisasi seluas Swiss yang mereka bentuk untuk membantu mencapai perjanjian perdamaian.
Pemimpin FARC Timoleon Jimenez membantah bahwa negosiasi dengan pemerintah mengisyaratkan gerilyawan berniat segera menyerahkan diri.
Pemimpin FARC itu mengatakan, kesenjangan kaya-miskin di Kolombia harus menjadi salah satu masalah yang dibahas dalam perundingan.
(M014)
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013