Jakarta (ANTARA News) - Akhir bulan Mei 2013, The Appeal of Conscience Foundation (ACF) akan memberikan penghargaan “World Statesman” kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di New York, Amerika Serikat. Rencana ACF ini sempat menimbulkan pro kontra tentang apakah memang pantas Presiden SBY menerima penghargaan dari lembaga yang didirikan Rabbi Arthur Scheneier pada 1965 yang memperjuangkan atau mempromosikan kebebasan beragama dan HAM.
Pertanyaan mendasar ini mengemuka, karena berbagai organisasi civil society yang intens mengamati masalah intoleransi, kekerasan dan civic education menilai bahwa SBY belum pantas menerima penghargaan tersebut, karena masih maraknya kekerasan dan intoleransi serta masih adanya persoalan di dalam negeri yang terkait dengan agama yang harus diselesaikan.
Kelompok yang menolak pemberian penghargaan ACF ke SBY mengklaim bahwa adanya penghargaan tersebut hanya akan menyakiti warga negaranya sendiri, terutama kelompok-kelompok yang selama ini sudah menjadi korban dari tindakan intoleransi dan kekerasan agama.
Penghargaan tersebut dianggap tidak layak, karena maraknya peristiwa intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas di era kepemimpinan SBY. Sebelumnya di DIY, LSM Dian Interfidei Yogyakarta dan East Timor and Indonesian
Salah satu esensi politisasi terkait rencana ini misalnya ada yang menilai bahwa kemungkinan alasan ACF memberikan penghargaan ke SBY antara lain, sebagai keberhasilan pencitraan diplomasi luar negeri Indonesia untuk menyakinkan ACF bahwa Presiden SBY memang kepala negara yang berhasil melindungi kebebasan beragama dan HAM.
Dengan penghargaan ini, SBY akan mendapatkan keuntungan ganda. Di satu sisi Presiden SBY ingin memperbaiki citranya di fora internasional yang terus disoal tentang kekerasan terhadap minoritas dan intoleransi, disisi lain ambisi dia untuk berkiprah di dunia internasional setelah selesai masa jabatannya sebagai presiden pada 2014 bisa kembali terbuka.
Penghargaan Buat Indonesia
Sebenarnya, jika kita mengkaji atau menganalisis secara lebih arif maka penghargaan ACF tersebut seharusnya dipandang sebagai penghargaan lembaga tersebut terhadap kebersamaan dan tekad semua elemen bangsa ini yang telah dinilai mereka secara bertahap berhasil mengurangi maraknya intoleransi, memperluas pembelajaran civic education, memerangi prakek fanatisme sempit dan berupaya keras mewujudkan multi kulturalisme di Indonesia.
Seharusnya dipandang seperti ini, agar rencana pemberian penghargaan ini tidak menimbulkan pro kontra ditengah masyarakat. Sedangkan sosok Presiden SBY harus dilihat sebagai personifikasi kepala negara yang mewakili seluruh lapisan masyarakat dalam menerima penghargaan tersebut.
Secara politis, adanya penghargaan ini sebenarnya juga menolong pembentukan image yang semakin membaik bagi Indonesia, karena diakui atau tidak membaiknya image dan kenyataan riil di Indonesia yang semakin diwarnai kedewasaan berdemokrasi, akan menjadi daya tarik negara lain untuk bekerjasama dalam berbagai sektor dengan Indonesia, yang pada akhirnya harus dilihat ada keterkaitan dengan perbaikan ekonomi dan kondisi sosial budaya masyarakat.
Ini cara melihat keterkaitan secara holistik rencana pemberian penghargaan tersebut dengan konteks kekinian di Indonesia serta perkembangan lingkungan strategis global, regional dan nasional yang perlu dikelola secara baik oleh Indonesia, sehingga setiap perkembangan ataupun political shifting yang terjadi di ranah global tidak merugikan soliditas kebangsaan dan kerakyatan kita bersama.
Jika ada yang mengkaitkan rencana pemberian penghargaan ini sebagai upaya memperbaiki citra Presiden SBY yang nota bene tidak akan menjadi Presiden lagi pasca 2014 serta rumors yang berkembang akan mencoba untuk berkarir politik sebagai Sekjen Perhimpunan Bangsa-Bangsa (PBB), maka seharusnya seluruh elemen bangsa ini mendukung niat baik tersebut dengan pertimbangan jika ada putra atau putri Indonesia yang dapat menempati jabatan dan posisi strategis di level global dan internasional, tentunya akan menguntungkan bagi kepentingan nasional Indonesia ke depan.
Setidaknya misalnya dengan SBY menjadi Sekjen PBB maka Indonesia dapat menjabarkan dan menjelaskan bagaimana visi dan misi Indonesia mewujudkan perdamaian dunia seperti yang diamanahkan dalam Pembukaan UUD 1945.
Kemudian jika ada yang menilai bahwa rencana pemberian penghargaan tersebut malah akan mencederai martabat ACF itu sendiri, maka penilaian seperti ini masih terlalu dini untuk dikemukakan.
Karena kita harus menyakini bahwa ACF dalam memberikan penghargaan tersebut tentunya dilakukan secara berhati-hati, memilih figur tertentu dengan indikator tertentu yang pasti mengarah bagi kontribusi dan kinerjanya dalam meningkatkan toleransi dan humanism di negaranya.
Sehingga ACF secara profesional dan hati-hati telah memantau kinerja dan output perjuangan SBY dan rakyat Indonesia memerangi situasi tidak kondusif bagi kehidupan kewargaan dan kebangsaan tersebut, sehingga sekali lagi sebenarnya konteks pemberian penghargaan ini adalah dalam konteks menghormati upaya dan jerih payah bangsa Indonesia meminimalisir intoleransi dan kekerasan, sedangkan sosok SBY merupakan simbol dalam pemberian penghargaan tersebut.
Kalau kita secara jujur dan tidak pesimis dalam melihat perkembangan negara ini, maka sebenarnya Indonesia adalah negara yang memiliki tingkat toleransi beragama yang tinggi, bahkan Indonesia juga memiliki toleransi beragama yang lebih baik dibanding sejumlah negara.
Ini jelas keberhasilan rakyat Indonesia semua.Coba sejenak kita merefleksi kondisi intoleransi di luar negara kita jauh lebih kronis.
*) Penulis adalah alumnus pasca sarjana Kajian Strategik Intelijen, Universitas Indonesia dan Dosen Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN).
Oleh Toni Ervianto *)
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013