"Yang paling membuat penumpang lega dan nyaman adalah hilangnya gangguan pengamen dan pengasong dalam kereta."

Jakarta (ANTARA News) - "Mau tahu buah reformasi di Indonesia? Naiklah kereta api ekonomi AC," demikianlah tulis seseorang dalam akun twitternya.

Tak perlu ditelisik apakah si penulis adalah orang di lingkaran dalam manajemen PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang hendak berpromosi.

Tulisan ini bolehlah dipandang sebagai ikhtiar membuktikan apakah pengakuan sang penulis akun twitter itu serius atau sekadar membual belaka.

Pembuktian ini dilakukan dalam perjalanan rute Stasiun Senen Jakarta Pusat-Blitar dengan Kereta Api Majapahit kelas ekonomi AC pada 13 Mei lalu, dengan harga tiket Rp255.000,- untuk satu orang dewasa.

Buah reformasi di manajemen PT KAI yang pertama terasakan adalah mudahnya mendapatkan tiket perjalanan. Cukup dengan datang ke toko swalayan terdekat dan memesan tanggal pemberangkatan serta jenis kereta yang dipilih.

Sayangnya, tiket yang terbeli di toko swalayan yang berbentuk struk pembelian masih harus ditukar dengan tiket resmi di stasiun.

Paling lambat sejam sebelum waktu keberangkatan tiket itu sudah harus ditukar.

Alangkah lebih nyamannya jika kelak PT KAI memutuskan bahwa struk dari toko swalayan itupun sudah bisa dianggap sebagai tiket resmi tanpa harus ditukar lagi.

Toh, dalam struk itu sudah tertera nama penumpang dan data jenis kereta dan tanggal pemberangkatan.

Setelah tiket terpegang, calon penumpang harus siap membawa kartu tanda pengenal (KTP).

Hanya penumpang yang membawa tiket dan KTP sesuai data identitas yang diperkenankan masuk di ruang tunggu stasiun.

Pengantar dilarang masuk. Suasana ruang tunggu yang berpendingin udara lebih nyaman dan tak berjubel seperti ketika Orde Baru mengelola perkeretaapian (dulu terkenal dengan sebutan PJKA, Perusahaan Jawatan Kereta Api).

Di ruang tunggu ini para penumpang tak perlu khawatir kehilangan barang saat meninggalkan barang bawaan untuk buang air di toilet yang digratiskan. Semua toilet stasiun sepanjang perjalanan Jakarta-Blitar digratiskan.

Ketepatan jadwal berangkat kereta api cukup teruji. Di dalam gerbong yang cukup nyaman, kebersihan terjaga. Petugas kebersihan yang dipekerjakan adalah tenaga alih daya.

Mereka dengan disiplin selalu membersihkan toilet, menyemprotkan wewangian dan disinfektan pada rentang beberapa jam.

Yang paling membuat penumpang lega dan nyaman adalah hilangnya gangguan pengamen dan pengasong dalam kereta.

Dulu, pengamen dan pengasong membuat penumpang kesal. Mereka sangat berisik mengganggu kenyamanan penumpang yang tak memerlukan hiburan sang pengamen.

Barang dagangan yang disodor-sodorkan ke penumpang oleh pengasong diganti oleh dagangan makanan dan minuman yang didorong dengan troli oleh pramugara dan pramugari.

Mereka pun menawarkan santapan makanan dan minuman dengan santun dan berbusana bak pramugara dan pramugari di pesawat. Penumpang pun meski naik kereta kelas ekonomi, mereka merasa bermartabat.

Apakah pengasong betul-betul lenyap sepanjang perjalanan Jakarta-Blitar? Sayang, PT KAI belum bisa menjamin 100 persen.

Untuk sebagian besar stasiun yang disinggahi kereta api, PT KAI sanggup menciptakan kenyamanan dengan raibnya pengasong di dalam gerbong.

Tapi, untuk stasiun-stasiun tertentu, seperti di Stasiun Kediri, gerombolan pengasong menyerbu masuk gerbong kereta.

Kebisingan dan hiruk-pikuk kereta kelas ekonomi era Orde baru kembali memperlihatkan wajahnya.

Seorang petugas keamanan yang juga tenaga alih daya menuturkan, PT KAI sudah meminta tiap pemerintah daerah setempat untuk membantu menertibkan pengasong dalam gerbong kereta.

"Sebagian besar Pemda mendukung upaya penertiban para pengasong di stasiun, tapi masih ada Pemda yang kurang mendukung," kata sang petugas.

Para penumpang merasa aman ketika gerbong bebas dari banyaknya pengasong yang bersliweran sambil menjajakan dagangan.

Tapi begitu gerombolan pengasong masuk ke dalam gerbong, kewaspadaan penumpang atas barang bawaannya harus ditingkatkan.

Warsini, seorang penumpang, menceritakan pengalaman pahitnya ketika naik kereta api kelas ekonomi di masa sebelum Reformasi.

"Waktu itu, sekitar 20 tahun silam, saya pulang kampung menjelang Lebaran. Karena terlelap di dalam kereta, satu kopor saya dicuri orang. Saya nggak tahu siapa yang mencuri. Soalnya terlalu banyak orang yang bersliweran di gerbong. Ya pengamen, ya pedagang," katanya.

Kenyamanan perjalanan dengan kereta api ekonomi AC agaknya belum bisa dinikmati sepenuhnya. Sebab, petugas pengatur suhu udara di dalam gerbong tak memperhitungkan berapa suhu dingin yang ideal.

Di malam hari, ketika suhu udara mulai kian dingin, AC tetap disetel dengan ukuran siang hari. Akibatnya, penumpang menjadi kedinginan.

Tentang suhu yang teramat dingin ini, ada anekdot. AC memang sengaja disetel sangat dingin oleh petugas. Dengan suhu yang sangat dingin, penyewaan selimut yang dipatok dengan harga Rp10.000 per selimut menjadi sangat laris. Bukan cuma itu, permintaan minuman hangat yang ditawarkan ke penumpang juga meningkat karena dinginnya udara dalam kereta.

Sepanjang perjalanan Jakarta-Blitar, gerbong kelas ekonomi AC terasa nyaman juga karena larangan merokok yang diterapkan dengan ketat.

Bahkan di gerbong restoran, tak seorang pun diperkenankan merokok, termasuk petugas.

"Manajemen sekarang sangat disiplin. Pernah ada petugas yang melanggar aturan larangan merokok. Penumpang ada yang melapor ke manajemen. Esoknya seluruh petugas yang dinas dalam perjalanan kereta saat itu dihukum," demikian cerita dari orang dalam PT KAI.

Kenyamanan naik ketera api kelas ekonomi AC yang menguntungkan penumpang itu tentu harus ditebus dengan ketidaknyamanan dari sisi kepentingan pengasong.

Mereka tentu tak bisa lagi memperoleh penghasilan dari jerih paya berdagang dalam kereta api kelas ekonomi AC. Begitulah hukum alam, ada yang diuntungkan, ada yang dirugikan.

Oleh M.Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013