Kata Borneo, memberi sebuah posisi yang unik bagi Sarawak..."
Pontianak (ANTARA News) - Dato` Rashid Khan, Ketua Dewan Pariwisata Sarawak, punya mimpi lima tahun mendatang ajang musik tahunan Borneo Jazz Festival bakal jauh lebih besar dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Ia mahfum untuk mengejar setingkat dengan Java Jazz Festival, acara serupa di Jakarta, mungkin masih jauh panggang dari api. "Tapi, kalau tahun ini hanya ada satu panggung, lima tahun lagi, mungkin bisa lebih dari satu panggung," ujarnya.
Jumlah penampil yang bakal hadir juga akan jauh lebih banyak. Tahun ini dan tahun-tahun sebelumnya, jumlah penampil dalam dua hari pertunjukan Borneo Jazz Festival, secara keseluruhan sebanyak delapan buah. Masing-masing empat penampil dalam satu hari.
Borneo Jazz Festival digelar Dewan Pariwisata Sarawak, di Kota Miri, Sarawak. Tahun ini, ajang tersebut berlangsung dua hari, mulai 10 - 11 Mei 2013.
Ajang tersebut dimulai delapan tahun lalu. Namanya semula bukanlah Borneo Jazz Festival. "Dulu, masih bernama Miri International Jazz Festival. Tetapi, sejak lima tahun terakhir, diubah menjadi Borneo Jazz Festival," ujar Rashid Khan.
Perubahan itu tentu bukan tanpa alasan. Pihak Sarawak ingin memperluas jangkauan dari festival tersebut. Sekaligus menjadi festival jazz paling utama yang ada di kawasan itu.
"Kata Borneo, memberi sebuah posisi yang unik bagi Sarawak, terhadap para pencinta dan musisi jazz di berbagai belahan dunia," kata dia.
Malaysia sendiri selama ini dikenal dengan jargon pariwisatanya, "Truly Asia", atau Asia yang sesungguhnya. Nama Borneo dengan kekayaan adat dan budaya didalamnya lebih identik ke Sarawak.
Sarawak lekat dengan kekayaan adat dan budaya dari etnis Dayak. Meski di Pulau Kalimantan juga ada lima provinsi di Indonesia --Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Utara-- yang memiliki beragam adat dan budaya dari etnis Dayak.
Dalam berbagai leaflet, buku petunjuk, maupun laman tentang Borneo Jazz Festival, Rashid Khan selalu memulai sambutan dengan kata-kata "Selamat Datai". Artinya, selamat datang, dalam bahasa Dayak Iban.
Kenapa Borneo?
Menurut Rashid Khan, Sarawak adalah tanah yang kaya akan kebudayaan, cerita rakyat yang mistis, serta telah diwariskan dalam berbagai instrumen musik, nada dan lagu.
Dengan latar belakang tersebut, ia ingin membawa para penampil musik kelas dunia ke seluruh penggemarnya untuk menikmati keduanya. Musik dan kekayaan budaya Sarawak.
"Apa yang lebih baik dari menikmati musik jazz dari berbagai belahan dunia, di sebuah wilayah, dimana banyak yang melakukan perjalanan untuk mendapatkan kejayaan atau kemuliaan?," katanya.
Dengan berbagai keyakinan tersebut, maka Miri pun dipilih sebagai tuan rumah festival jazz.
Ia menemukakan, biasanya acara jazz berlangsung di ibu kota negara. Namun, di Borneo Jazz Festival, digelar di Miri, sebuah kota kecil setingkat ibu kota provinsi.
Miri merupakan kota terbesar kedua di Sarawak, setelah Kuching. Jumlah penduduknya pun tak banyak, sekira 350.000 jiwa dengan luas wilayah 4.707 kilometer persegi.
Miri merupakan asal muasal lahirnya industri minyak bumi dan gas di Sarawak.
Sumur minyak pertama dibor oleh perusahaan asal Belanda, Shell, pada 1910. Lokasi tersebut kini menjadi monumen penting bagi Malaysia, sekaligus salah satu tujuan wisata di Miri.
Kilang minyak pertama di Malaysia dibangun di Lutong, daerah pinggiran Miri, juga dilakukan Shell.
Shell merupakan salah satu sponsor yang rutin mendukung kegiatan Borneo Jazz Festival. Tahun ini perusahan empat besar di bidang migas itu menyumbang 50.000 ringgit Malaysia.
Miri berbatasan dengan negara petro dolar, Brunei Darussalam. Jarak dengan perbatasan Brunei Darussalam, sekitar 20 kilometer.
Harus diakui, Borneo Jazz Festival juga membidik para ekspatriat yang bekerja di berbagai perusahaan minyak bumi dan gas di Miri dan kota-kota sekitarnya, serta Brunei Darussalam.
Akses dari dan ke Miri pun mudah. Bandara Miri terbuka untuk penerbangan langsung dari Kuala Lumpur atau Brunei Darussalam. Selain jalur darat melalui jalan lintas Borneo yang lebar dan mulus.
Akses yang terbuka membuat pihak panitia pun mudah mengundang tamu atau jurnalis dari luar Malaysia. Misalnya Christine, ia jurnalis dari Rhythms Music Magazine, asal Australia. Ia terbang dari Sydney, menuju Kuala Lumpur, lalu ke Miri. Pihak Dewan Pariwisata Sarawak juga mengundang tiga jurnalis asal Indonesia, yakni dari Kantor Berita Antara, Radio Oz Bandung dan koran Pontianak Post.
Hasil akhir
Dua hari pelaksanaan Borneo Jazz Festival 2013, Rashid Khan patut lega. Penonton yang tahun sebelumnya tercatat sekitar 8.200 orang, tahun ini mendekati angka 10.000.
Cuaca yang cerah dan penampilan pemusik yang lebih bervariatif serta berkualitas, diamini oleh Audrey, penonton sekaligus relawan asal Kuching. Hujan deras menjelang penutupan, tak mengurangi keasyikan penonton yang tetap bertahan meski cuaca berubah dari hangat menjadi dingin.
Kedelapan penampil itu West Jazz Band, asal Sarawak, menjadi grup pembuka Borneo Jazz Festival tahun ini. Kemudian Lisa Young Quartet (Australia), Hazmat Modine (Amerika Serikat), The Nylons (Kanada).
Lalu, The Asian Jazz Allstar Power Quartet, The Scott Martin Latin Soul Band (Amerika Serikat, Jump 4 Joy (Swedia), dan Mo`Blow (Jerman).
Ulf dari Jump4Joy mengatakan, meski berada di tempat yang jauh dari negaranya, namun tidak menghalangi keinginan untuk tampil di festival tersebut.
"Saya pernah di Kalimantan, dan saya menyukainya, juga kalau bepergian ke tempat-tempat yang berbeda," kata Ulf.
Jeremy Monteiro, pentolan The Asian Jazz Allstar Power Quartet menambahkan, sepanjang terdapat akses yang baik dan kebutuhan pemusik dipenuhi, bukan masalah untuk menempuh jarak yang jauh. "Di sini tempat yang indah," ujar Jeremy Monteiro.
Terlepas dari itu semua, mungkin menarik apa yang diucapkan Ayong, 50, pria enerjik dan ramah yang sehari-hari menjadi supir taksi di Miri. "Dengan musik, kita hidup damai," kata pecinta lagu "Madu dan Racun" dari Ari Wibowo (kini almarhum) dari Indonesia.
Ia membandingkan dengan kondisi Korea Utara dan Korea Selatan, atau Israel dan Palestina, yang kerap terjadi ketegangan bahkan aksi peperangan.
"Mereka tidak suka musik, tetapi, `duududdduut`," katanya sambil menirukan bunyi dan gaya orang menggunakan senapan mesin.
Bagi Ayong, sulit membayangkan seseorang hidup tanpa menyukai musik. Apa pun jenisnya.
Rashid Khan menyadari, masih banyak kekurangan selama pelaksanaan Borneo Jazz Festival.
"Ini akan menjadi pertimbangan dan bahan evaluasi kami ke depan," kata dia. Termasuk wacana untuk memindahkan lokasi yang saat ini berada di pinggir pantai, ke daerah pegunungan.
Sempat terlintas ucapan "iri" Rashid Khan terhadap Java Jazz Festival. "Kalau Java Jazz boleh disponsori rokok, kalau kami tidak. Kalau kami bisa, tentu sponsor juga lebih besar," kata Rashid Khan.
Oleh Teguh Imam Wibowo
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2013