Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia (BI) mengakui menentukan pemegang saham pengendali (PSP) suatu bank dalam rangka pelaksanaan single presence policy (SPP) bukanlah langkah yang sederhana, namun memerlukan proses yang hati-hati. "Yang disasar dari kebijakan ini adalah PSP. Nah definisi sebagai PSP itu tidak sesederhana hanya melihat prosi kepemilikan saham seperti lebih dari 25 persen saja," kata Deputi Gubernur BI, Maman H. Somantri, di Jakarta, Senin. Menurut dia, pemegang saham yang kepemilikan sahamnya di satu bank kurang dari jumlah tertentu misalnya 25 persen, bisa saja masuk definisi sebagai PSP jika yang bersangkutan mengendalikan dan mengontrol bank itu serta bisa mengganti direksi, maka dia dapat masuk dalam definisi PSP. "Jadi kita tidak bisa dengan cepat langsung menentukan PSP suatu bank," katanya. BI, lanjut Maman, harus melihat dulu siapa PSP suatu bank. Kalau PSP suatu bank ternyata juga menjadi PSP di bank lain, maka pemegang saham itu terkena aturan SPP. Terhadap PSP yang terkena aturan SPP, BI memberikan tiga opsi untuk dipilih. Opsi tersebut adalah pengurangan kepemilikan saham mayoritas sehingga hanya ada satu bank yang dikendalikan, menggabungkan (merger) bank-bank itu, dan membentuk holding company bank. "PSP di suatu bank harus dibuktikan dulu, kalau terbukti dia menjadi PSP di lebih dari satu bank, maka terbuka baginya opsi-opsi itu. Terserah mereka untuk memilih opsi, dan masih ada waktu sampai 2008," katanya. Dalam kesempatan itu, Maman juga menegaskan bahwa tidak ada pengecualian pemberlakuan SPP terhadap bank-bank BUMN. "Nggak ada pengecualian, sama saja. Saya rasa mereka sudah tahu. Kalau tidak salah, dari tiga opsi itu, salah satunya relatif mungkin untuk dibicarakan," kata Maman. (*)

Copyright © ANTARA 2006