Translasional dapat membantu mengidentifikasi senyawa aktif dari berbagai sumber.
Depok (ANTARA) - Guru besar tetap Fakultas Kedokteran (FK) Bidang Farmakologi dan Terapeutik Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Melva Louisa SSi MBiomed menyatakan untuk mewujudkan kemandirian obat nasional, perlu mengoptimalkan peran Farmakologi Translasional dalam pengembangan obat baru.
"Untuk optimalisasi kandidat obat baru, Farmakologi Translasional dapat membantu mengidentifikasi senyawa aktif dari berbagai sumber," kata Prof Dr Melva Louisa, di Kampus UI, Depok, Jawa Barat, Senin.
Farmakologi Translasional merupakan bagian dari ilmu Farmakologi yang berhubungan dengan penerapan hasil penelitian molekuler dan praklinik ke aplikasi klinik. Farmakologi Translasional bertujuan untuk mengurangi tingkat kegagalan proses pengembangan obat, sehingga dapat mengurangi biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk membawa obat baru ke pasar.
Penelitian di Departemen Farmakologi FKUI bersama dengan mahasiswa dan kolaborator, telah mempelajari beberapa kandidat obat dari bahan alam, di antaranya Alfa mangostin, kurkumin, 6-gingerol, ekstrak Moringa oleifera (kelor), dan ekstrak Carthamus tinctorius (kasumba turate).
Penelitian tersebut ditujukan untuk meningkatkan efek terapi atau menurunkan efek samping dari obat standard.
Prof Melva mengatakan bahwa penentuan biomarker yang tepat, sangat penting dalam mendukung keberhasilan suatu uji klinik, karena hasilnya yang bersifat objektif.
"Sebagai contoh, penelitian kami telah mengkaji manfaat KIM-1 dan NGAL sebagai penanda keamanan yang lebih baik dibanding ureum dan kreatinin sebagai penanda kerusakan ginjal tahap awal," kata Prof Melva.
Peran Farmakologi Translasional selanjutnya adalah optimalisasi personalized medicine, yaitu suatu pendekatan inovatif yang menggunakan informasi genomik, pengaruh lingkungan, dan gaya hidup untuk memandu manajemen pengobatan pasien.
Contoh penggunaan obat yang membutuhkan informasi profil genetik tertentu adalah primakuin, 6-merkaptopurin, dan klopidogrel, serta masih banyak lagi.
Namun, masih banyak tantangan penerapan personalized medicine, terutama dalam hubungannya dengan persetujuan dari regulator, tenaga kesehatan, perusahaan asuransi, dan pasien.
Walaupun kenyataannya personalized medicine lebih baik dari pengobatan konvensional, namun pelaksanaannya akan membutuhkan investasi alat tertentu, yang menyebabkan biaya menjadi mahal.
Oleh karena itu, riset pada Farmakologi Translasional diharapkan dapat menjawab apakah informasi genetik tersebut bermakna secara klinis, efektif secara biaya, dan mudah diaplikasikan.
Selain itu, diperlukan juga suatu kantor inkubator pengembangan obat di universitas, yang menjembatani akademisi dengan industri, sebelum akhirnya dilakukan transfer teknologi ke industri farmasi.
Baca juga: Menkes: BGSi dan Etana menandai kemandirian bioteknologi Indonesia
Baca juga: Mendag dukung kemandirian Indonesia penuhi kebutuhan bahan baku obat
Pewarta: Feru Lantara
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2023