Jakarta (ANTARA) - Ombudsman RI menemukan persoalan dalam pengelolaan barang bukti di lingkup kepolisian, kejaksaan, dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan).
Anggota Ombudsman RI Johanes Widijantoro mengatakan pihaknya menemukan persoalan regulasi Rupbasan yang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.
“Sehingga Rupbasan tidak memiliki sistem database sebagaimana yang dimiliki oleh lembaga pemasyarakatan,” kata Johanes dalam rilis resmi yang diterima di Jakarta, Jumat.
Dia mengatakan Ombudsman juga menemukan fakta bahwa kepolisian, kejaksaan dan Rupbasan memiliki aturan masing-masing terkait pengelolaan barang bukti sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Koordinasi antarinstansi tersebut, kata Johanes, juga belum selaras sehingga kejaksaan dan kepolisian cenderung melakukan pengelolaan barang bukti sendiri dan tidak melibatkan Rupbasan.
“Padahal Rupbasan memiliki sarana dan prasarana yang lebih baik untuk melakukan pengelolaan. Selain itu, penanggung jawab yuridis atas barang bukti sering kali tidak memberikan informasi terkait dengan perkembangan status barang bukti yang dititipkan di Rupbasan, sehingga banyak barang bukti yang overstay,” jelasnya.
Selain itu, dia menyebut jumlah sumber daya manusia (SDM) yang mengelola barang bukti di kepolisian, kejaksaan dan Rupbasan belum memadai, di mana tidak terdapat SDM yang mempunyai kualifikasi tertentu sesuai dengan spesifikasi barang bukti di kepolisian dan kejaksaan.
“Demikian juga di Rupbasan di mana SDM dengan kualifikasi tertentu jumlahnya terbatas pada petugas penilai, selebihnya belum ada SDM dengan kualifikasi khusus seperti perkayuan, zat berbahaya, zat kimia,” terangnya.
Ombudsman, lanjut dia, menemukan persoalan sarana dan prasarana penempatan barang bukti pada gudang penyimpanan belum seluruhnya sesuai dengan pengklasifikasian penyimpanan barang bukti lantaran terbatasnya gudang yang ada, termasuk ditemukan pula persoalan terkait anggaran.
“Bahkan di beberapa Polres tidak memiliki anggaran untuk melakukan pengelolaan barang bukti,” ucapnya.
Dia menambahkan bahwa pihaknya menemukan masih terdapat Polres yang penyimpanan barang buktinya bukan dilakukan oleh Satuan Perawatan Tahanan dan Barang Bukti (Sattahti) melainkan dilakukan oleh penyidik, serta belum meratanya pencatatan secara digital dalam melakukan pengelolaan barang bukti.
“Ombudsman juga menemukan adanya barang bukti yang dikembalikan kepada pemiliknya dengan kondisi tidak sama seperti saat awal dilakukan penyitaan. Ombudsman RI menerima laporan masyarakat terkait tata kelola barang bukti di antaranya adanya barang bukti yang rusak, hilang dan mengalami penurunan nilai,” tuturnya.
Diketahui, Ombudsman melaksanakan kajian mengenai penyelenggaraan barang bukti pada kurun waktu Maret-September 2023 dengan melakukan wawancara terhadap warga binaan pemasyarakatan (WBP) dan observasi tempat penyimpanan barang bukti, barang sitaan atau barang rampasan di Polri, kejaksaan, dan Rupbasan di Provinsi Gorontalo, Kepulauan Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan Jawa Barat.
Baca juga: Ombudsman RI jelaskan payung hukum untuk sanksi perusahaan pialang
Baca juga: Ombudsman sampaikan laporan kajian tata laksana fasilitas kesehatan
Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2023