Hangzhou (ANTARA) - Abdulla Altamimi mengukir namanya dalam sejarah olahraga Qatar dengan meraih medali pertama di cabang olahraga (cabor) squash untuk negara tersebut di Asian Games Hangzhou.
"Saya sangat senang bisa meraih medali pertama untuk Qatar di cabor squash," kata peraih medali perunggu tersebut. "Namun, target saya adalah emas. Di masa mendatang, semoga saya bisa merebut medali emas."
Pencapaian Altamimi ini menjadi sumber inspirasi yang kuat bagi atlet-atlet sepertinya, dan menggarisbawahi signifikansi Asian Games untuk cabor non-Olimpiade.
"Bagi semua anak di Qatar, saya berharap kalian yakin dengan apa yang kalian lakukan. Tidak ada yang mustahil. Bahkan, jika kalian berasal dari sebuah negara kecil dengan jumlah atlet yang terbatas, kalian harus menemukan jalan dan hasrat kalian sendiri. Pada akhirnya, dukungan akan datang menghampirimu. Suatu saat, kalian bisa meraih impian. Dan, bahkan jika kalian tidak berhasil, setidaknya kalian telah berupaya sebaik mungkin. Kesuksesan akan datang suatu hari nanti," ujar Altamimi usai pertandingan.
Sama seperti Altamimi, para atlet dari negara-negara kecil dan kawasan dengan sumber daya yang terbatas menghadapi beragam tantangan unik dalam pengembangan olahraga. Salah satunya adalah Sri Lanka yang menjadi bukti dari perjuangan ini.
Di ajang Asian Games Hangzhou, tiga atlet Sri Lanka menunjukkan tekad tak tergoyahkan dan kecintaan mendalam terhadap squash.
Ravindu Hashintha Laksiri (27), yang tampil di cabor squash nomor tunggal putra, juga berprofesi sebagai eksekutif sumber daya manusia (SDM) di Brandix, perusahaan tekstil terbesar di Sri Lanka. Dia mulai mengenal squash pada usia enam tahun setelah menonton saudara laki-lakinya memainkan olahraga tersebut.
Namun, Mohamed Elshorbagy-lah, seorang atlet squash asal Mesir, yang justru memicu semangat Laksiri untuk memainkan olahraga itu lewat keahlian, disiplin, dan komitmen yang luar biasa. "Saya menonton pertandingannya di TV dan jatuh cinta dengan olahraga tersebut," tutur Laksiri.
Di Sri Lanka, menekuni olahraga squash memiliki berbagai tantangan, seperti fasilitas profesional yang terbatas, peluang kompetisi internasional yang langka bagi atlet muda, dan beban keuangan yang berkaitan dengan olahraga tersebut. Selama bertahun-tahun, Laksiri menyisihkan sebagian gajinya untuk menunjang cita-citanya dalam olahraga squash.
Pada 2018, dia menjadi salah satu dari hanya dua atlet squash Sri Lanka yang terpilih mewakili negara itu di ajang Pesta Olahraga Persemakmuran (Commonwealth Games). Ini menjadi titik balik dalam perjalanan kariernya karena Brandix turun tangan untuk mensponsori dirinya.
Laksiri mengakui beragam hambatan yang dihadapi oleh rekan-rekannya, dengan mengatakan, "Ada banyak pemain squash berbakat di Sri Lanka, namun minimnya pengalaman di turnamen internasional dan kesempatan berlatih masih menjadi kendala."
Meski begitu, harapan masih ada. Mengingat squash masih menjadi cabor non-Olimpiade, ajang Asian Games menjadi sangat penting. "Saya melihat pintu-pintu secara bertahap terbuka. Saya ingin tampil di turnamen internasional, yang akan membantu generasi setelah saya juga memperoleh pencapaian itu," harap Laksiri dengan nada optimistis.
Saat ini, impian utamanya adalah mewakili Sri Lanka di sirkuit squash global, sembari menargetkan untuk menembus peringkat 50 besar dunia dan menciptakan lebih banyak peluang bagi talenta-talenta berbakat.
Rekan Laksiri, Mohomed Shamil Mukthar Wakeel, yang berlaga di nomor ganda campuran, berbagi impian yang sama. "Saya hanya bisa bekerja keras, berlatih tekun, dan berkompetisi. Meraih medali akan membantu mempromosikan squash di negara kami," tuturnya.
Menyeimbangkan pekerjaan dan squash bukanlah hal yang mudah, tetapi kedua pemuda tersebut menganggapnya bermanfaat. Mereka berkomitmen untuk menaikkan peringkat dunia mereka tahun ini, dengan partisipasi mereka di ajang Asian Games menjadi sumber kebanggaan yang luar biasa saat mewakili Sri Lanka di panggung internasional.
Penerjemah: Xinhua
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2023