Serang (ANTARA News) - Menteri Agama Suryadharma Ali menyatakan dewasa ini berkembang penyakit sok pintar dan penularannya sudah meluas sehingga sangat membahayakan bagi umat ke depan.
"Itu perlu ada upaya pencegahan," kata Suryadharma Ali ketika membuka Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Ulama Al Quran di Serang, Banteng, Selasa malam .
Pada Mukernas tersebut hadir sejumlah pejabat Kemenag, para ulama, akademisi, dan pemerhati kajian tafsir dan ilmu Al Quran yang mengambil bagian pada Musyawarah Kerja (Muker) Ulama Al Quran bertema "Al Quran di Era Global: Antara Teks dan Realitas" di Banten, 21-24 Mei 2013.
Kegiatan itu sendiri diselenggarakan Lajnah Pentashihan Mushaf Al Quran (LPMA) Balitbang Diklat Kementerian Agama yang dikepalai Muchlis M Hanafi.
Di negeri ini, menurut Suryadharma Ali, ibarat banyak pertandingan bola, maka pengamatnya pun tak kalah banyak. Publik pun memahami bahwa komentator bola terasa lebih pandai dari para pemain bola itu sendiri.
Di bidang lain pun terjadi. Pengamat seolah banyak tahunya. Bisa disimpulkan, pengamat serba tahu. "Yang tidak diketahui cuma dia yang tidak tahu," kata Suryadharma Ali yang disambut gelak tawa hadirin.
Pada kesempatan tersebut Menag mengatakan bahwa persoalan kitab suci bukan persoalan teks. Sejarah membuktikan Al Quran adalah kitab suci yang terpelihara kesahihan dan keaslian teks-teksnya.
Jaminan keterpeliharaannya dinyatakan sendiri oleh Allah. "Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Quran, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya" (QS.Al-Hijr:9).
Terkait dengan hal itu, ia mengatakan bahwa pentasihan Al Quran hendaknya tidak terbatas pada penelitian tanda baca, huruf, kata dan seterusnya.
Ulama pun harus memperhatikan originalitas, seperti tertukarnya halaman jangan sampai terjadi. Soal keaslian atau originalitas ini, ia mengaku sering menjelaskan ke berbagai pihak kerap menghadapi persoalan dengan pihak luar.
Lantas Menag Suryadharma Ali bercerita tentang pengalamannya pergi ke Thailand. Di negeri gajah itu ia dengan didampingi bhiksu berfoto dengan latarbelakang patung Buddha. Lantas ia bertanya kepada pendampingnya, jika patung itu diberi kain agar terlindungi dari panas, apakah umat Buddha setuju. Dijawab oleh bhiksu, tidak. Menag pun menjawab, setuju.
Pada kesempatan lain, Menag bertanya jika bendera merah putih ditambahi warnanya dengan hijau, apakah itu bisa disebut sebagai bendera bangsa Indonesia. Tentu, jawabnya tidak. Itu bukan lagi bendera Indonesia karena tidak merah putih lagi.
Jika Al Quran yang disusun dengan baik, kemudian diubah-ubah lagi, seperti yang dilakukan kelompok Ahmadiyah, tentu keasliannya hilang. Maka, kitab itu bukan lagi dapat disebut Al Quran. Padahal, Al Quran adalah kitab suci bagi umat Islam. Jelas saja dapat menimbulkan kemarahan, katanya.
Untuk itu, ia minta apa sudah dimuliakan oleh agama, umat hendaknya harus menghormati apa adanya. Al Quran jelas tak bisa diubah-ubah. Karena itu, ia tak sepaham dengan aliran kebebasan mutlak, bahwa segala sesuatu dapat dilakukan semaunya. Dalam bernegaranya saja ada aturan dan pemerintah yang mengatur.
"Di dunia ini tidak ada kebebasan mutlak," jelas Suryadharma Ali.
Pewarta: Edy Supriatna Sjafei
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013