Jakarta (ANTARA) - Kemenangan Mohamed Muizzu dalam pemilihan Presiden Maladewa pada 30 September 2023, membuat negara di Samudera Hindia itu bolak balik diperintah rezim yang condong ke India dan China.
Presiden terpilih yang diusung koalisi Aliansi Progresif itu dikenal berpandangan pro-China, sehingga menjadi antitesis untuk presiden Maladewa saat ini, Ibrahim Solih, yang cenderung memilih India.
Maladewa atau Maldives adalah negara kepulauan yang berada di "halaman belakang" India.
Negara itu hanya berjarak sekitar 130 km dari wilayah terluar India di Pulau Minicoy, dan sekitar 555 km dari pantai barat daratan India.
Sebaliknya, jarak Maladewa ke China, jika ditarik garis lurus ke wilayah terdekat China di Yunnan, mencapai 4.680 km.
Negeri kepulauan seluas 300 km persegi dan berpenduduk 520 ribu jiwa yang hampir seluruhnya beragama Islam itu memang kecil.
Namun, negara itu berada di jalur pelayaran internasional nan sibuk yang dilalui kapal-kapal komersial yang melintasi Samudera Hindia.
Setelah China semakin meraksasa dan mendunia, posisi Maladewa menjadi sama sangat pentingnya dengan titik-titik wilayah di berbagai belahan dunia yang dianggap vital oleh China.
Akibatnya, pertarungan politik untuk menentukan siapa yang berkuasa di Maladewa, menjadi tak lagi semata soal suksesi kepemimpinan, namun juga berkorelasi dengan kepentingan asing, termasuk China.
China sendiri menghadapi oposisi yang semakin sengit dari India, terlebih Maladewa berada di depan gerbang wilayah India.
Oleh karena itu, pemilihan presiden 30 September yang dimenangi Muizzu dengan 54,06 persen suara itu melukiskan adanya pertarungan dua platform politik yang masing-masing berafiliasi kepada India dan China.
Kecenderungan seperti itu sudah berlangsung dalam 10 tahun terakhir, bukan kali ini saja.
Kemenangan Muizzu dari Ibrahim Solih mengartikan China kini masuk Maladewa, dan sebaliknya, India keluar dari negara itu.
"India Out" vs "India First"
Konklusi pemilu tahun ini ternyata pernah terjadi lima tahun lalu, tatkala Ibrahim Solih yang pro-India mengalahkan petahana Abdullah Yameen yang condong ke China.
Saat Yameen menjadi presiden Maladewa, India melalui masa yang sulit karena pemerintahan Maladewa saat itu memberi tempat yang sangat lapang kepada China, dan sebaliknya mempersempit ruang gerak India.
Kini, situasi lima tahun lalu itu bakal berulang, segera setelah Mohamed Muizzu memulai pemerintahannya, begitu dilantik pada 17 November.
Awalnya. Koalisi Progresif memilih Abdullah Yameen sebagai calon presiden mereka. Namun, Mahkamah Agung Maladewa menyatakan Yameen tak bisa dicalonkan karena berstatus narapidana.
Mantan Presiden Maladewa itu dijerat kasus korupsi segera setelah kalah pada pemilu 2018. Dia divonis hukuman penjara 11 tahun, tetapi hanya dikenai tahanan rumah.
Karena tak bisa mengusung Yameen, koalisi Aliansi Progresif memilih Muizzu sebagai calon presiden mereka, dengan membawa platform pro-China dan anti-India, seperti dirangkul Yameen, baik saat memerintah maupun semasa kampanye.
Kubu oposisi pimpinan Muizzu sendiri mengampanyekan sentimen anti-India lewat slogan "India Out".
Mereka membakar emosi rakyat dengan menyerang kebijakan-kebijakan Salih yang pro-India. Salih sendiri mengenalkan slogan yang berbeda 180 derajat dengan lawannya, lewat slogan "India First."
Sentimen India dan China begitu mendominasi pemilu Maladewa tahun ini, padahal negara kepulauan itu menghadapi masalah-masalah pelik, mulai soal pembangunan berkelanjutan, perubahan iklim yang bisa mengikis wilayah mereka, dan juga masalah ekonomi.
Semua masalah lokal itu seketika pupus manakala India menanamkan jejak yang semakin besar di Maladewa, semasa pemerintahan Solih.
Itu pula yang menjadi fokus serangan kubu oposisi terhadap pemerintahan Solih. Mereka sampai membuat dan menyebarluaskan tagar "India out", sehingga turut memenangkan Muizzu yang ditengarai merupakan kepanjangan tangan Abdullah Yameen, si mantan presiden.
Kubu Muizzu sendiri tak berusaha menampilkan Maladewa yang mandiri, karena sebaliknya, malah mempromosikan sentimen pro-China yang kemungkinan diwujudkan dalam kebijakan-kebijakan pemerintahannya nanti. Maladewa pun dipastikan akan lebih condong ke China, dan perlahan meninggalkan India.
India sudah pasti mencermati dalam-dalam apa yang terjadi dan akan terjadi di Maladewa, terlebih India saat ini merasa dikepung China di hampir seluruh tetangganya, baik di Asia Selatan, maupun di Samudera Hindia.
Terkepung China
India khawatir Muizzu bakal mengambil kebijakan yang sama sekali berbeda dengan Solih, yang sebenarnya persis seperti ditempuh Solih begitu memenangi Pemilu 2018.
Jika Solih menganulir semua kebijakan pro-China yang dirangkul pendahulunya, Abdullah Yameen, termasuk mencampakkan Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) dengan China, maka Muizzu malah akan mengaktifkan lagi perjanjian itu.
Jatuhnya lagi Maladewa ke dalam pengaruh China terjadi pada masa ketika situasi geopolitik global membuat India dipaksa berhadapan dengan China. India sendiri merasa dikepung oleh China.
Rasa itu dirasakan elite politik India, apalagi faktanya China semakin kuat mencengkeram pengaruh dan kehadiran politik serta militer di negara-negara tetangga India di Sri Lanka, Myanmar, dan Pakistan.
"Kita tak berada dalam situasi membahagiakan. China sudah menempatkan pos pengamatan di Kepulauan Coco di Myanmar, sedangkan di Sri Lanka, China menancapkan kehadiran besarnya dengan memanfaatkan diplomasi utang untuk menekan pemerintah Sri Lanka. Gwadar di Pakistan juga sudah dikendalikan China, dan kini Maladewa. Ini untaian mutiara yang mengepung India," kata mantan duta besar India untuk PBB Rajiv Dogra, kepada laman mingguan Outlook India.
China memang mendapatkan hak sewa selama 99 tahun di pelabuhan terpenting Sri Lanka di Hambantota yang didanai dan dibangun China. India khawatir pelabuhan itu digunakan China untuk tujuan-tujuan militer, setidaknya menjadi tempat berlabuh armada angkatan laut China yang saat ini terbesar di dunia.
Koran terkemuka Hindustan Times sampai mengingatkan pemerintah India dalam editorialnya pada 4 Oktober 2023, bahwa "tatkala kontestasi India-China semakin sengit, India tak boleh menoleransi perkembangan apa pun yang merusak keunggulan strategisnya di Samudera Hindia."
India bisa saja terpicu untuk mengambil sikap seperti ditempuh Australia saat mengikatkan diri dalam pakta AUKUS bersama Inggris dan Amerika Serikat, ketika penetrasi China sudah jauh masuk ke halaman depan Australia di Pasifik Selatan, di mana Kepulauan Solomon, bahkan sudah mengikat pakta keamanan dengan China.
Skenario sama bisa saja terjadi pada India, apalagi negara ini menjadi anggota Dialog Keamanan Empat Pihak bersama Australia, Jepang, dan Amerika Serikat.
Hanya saja, semua perkembangan itu tak bisa menjadi kesimpulan bahwa China menjadi pihak yang salah dalam konteks Maladewa atau menjadi pihak antagonis dalam panggung wayang geopolitik global.
Sebaliknya, China hanya negara yang karena tuntutan kepentingan nasionalnya yang membentang ke seluruh dunia, diharuskan memproyeksikan kekuatannya secara global, seperti dilakukan Amerika Serikat dan adidaya-adidaya dunia sebelum ini, guna melindungi kepentingan nasionalnya di luar negeri.
China merasa perlu mengamankan kepentingan nasionalnya yang sudah mengglobal, termasuk jalur pasokan energi, yang membentang dari pesisir timur Afrika dan Laut Arab, sampai Laut China Selatan, yang pasti melewati dan bersinggungan dengan teritori India atau lingkup pengaruh India di Samudera Hindia.
Oleh karena itu, apa yang terjadi di Maladewa saat ini, tak lagi bisa dilihat semata sebagai dinamika nasional di Maladewa, namun juga sudah menjadi petunjuk untuk pertarungan geopolitik global yang kian sengit, khususnya antara China dan India.
Copyright © ANTARA 2023