Jakarta (ANTARA) - Geopolitik kini sedang mengalami ketidakpastian. Perebutan pengaruh dan kekuasaan (power) negara-negara adidaya (superpower), bahkan tidak memperhitungkan dampak bagi negara-negara yang sedang berkembang. Jika perlu negara-negara berkembang diperalat untuk mencapai tujuan negara adidaya.

Untuk membangun titik keseimbangan, tuntutan untuk terus mengembangkan instrumen kekuasaan tidak bisa dihindari. Instrumen dasar tersebut berupa diplomasi, informasi, militer dan ekonomi (DIME).

Di antara keempat instrumen, instrumen militer digunakan paling akhir dalam menyelesaikan konflik atau ketika pecah perang. Di sisi lain, militer harus berada di garda terdepan dan membutuhkan persiapan panjang, dengan biaya yang tidak sedikit. Nilai strategisnya sangat tinggi.

Oleh karena itu, pengembangan strategi pertahanan militer dirumuskan secara serius, terencana, tepat sasaran, dan berdimensi jangka panjang. Tidak hanya merespons situasi geopolitik yang sedang terjadi, tapi juga prediksi dan antisipasi di masa mendatang serta bersifat berkelanjutan.

Ada tiga fakta ketidakpastian politik geopolitik saat ini yang dapat digunakan untuk memprediksi masa depan. Tiga fakta ini kemudian dapat dijadikan sebagai basis perumusan strategis pertahanan, yang oleh TNI, beberapa waktu lalu disebut sebagai Strategi Pertahanan Nusantara (SPN).

Pertama, fenomena konflik berbasis militer atau paramiliter menjadi tren belakangan ini. Penulis mencatat konflik antarnegara, selain perang Rusia-Ukraina, terdapat konflik perebutan perbatasan Armenia dengan Azerbaijan, klaim wilayah antara China dengan Taiwan, dan ketegangan sejarah Korea Utara dan Korea Selatan. Pamer senjata dan kekuatan militer semakin intensif di kalangan negara-negara tersebut.

Sementara konflik dalam negeri di sejumlah negara juga melibatkan kekuatan militer: Tercatat, Myanmar, Niger, dan Sudan adalah negara-negara yang sedang berkonflik, baik melibatkan militer dengan paramiliter maupun militer versus sipil. Fakta ini menjadi pengingat kepada TNI untuk mempertahankan soliditas internal mereka.

Kedua, ketegangan di Laut China Selatan tampaknya belum menemukan titik temu. Keterlibatan Anggota NATO (Inggris dan Amerika) dalam AUKUS, menguatnya FDPA, dan munculnya Quad Power yang melibatkan India dan Jepang semakin memperkuat ketegangan. Jepang, akhir-akhir ini turut serta meramaikan dengan berbagai senjata baru mereka.

Respons agresif militer Filipina terhadap klaim LCS memosisikan China semakin terpojok. Ditambah konflik China-Taiwan, maka sempurnalah militerisasi kawasan Indo-Pasifik.

Banyak pihak memprediksi, dan penulis mengamini dengan prediksi tersebut, bahwa potensi perang di kawasan Indo-Pasifik akan pecah. Ibaratnya, tinggal menunggu tekan tombol dari negara-negara adikuasa.

NATO dalam dokumen Regional Perspectives Report On The Indo-Pacific Strategic Foresight Analysis (2022) menyebutkan bahwa NATO "... consider the Indo-Pacific within the Warfare Development Agenda, and include it as a topic of interest in the Chiefs of Defence Conversations…" Indo-Pasifik telah menjadi target dan incaran "Agenda Pengembangan Perang", di mana Indonesia ada dalam kawasan tersebut.

Dengan bahasa yang lebih halus, Amerika Serikat dalam Indo Pacific Strategy of The United States (The White House 2022) menyebutkan bahwa "...the United States can lead with others toward an Indo Pacific that is free and open, connected, prosperous, secure, and resilient for generations to come…"

Kawasan Indo-Pasifik harus netral. Yang bisa mewujudkan netralitas itu adalah Amerika Serikat. Dua dokumen di atas menunjukkan bahwa negara-negara adidaya telah memberikan perhatian kepada kawasan Indo-Pasifik. Militer mereka telah bersiap untuk berperang.

Bukan omong kosong, saat ini Amerika telah membangun 36 pangkalan militer, 11 di antaranya ada di Filipina, Australia, Singapura, Thailand, dan Hong Kong. Sementara China membangun 23 pangkalan militer di jalur One Belt One Road (OBOR) inisiatif China, sembilan di antaranya ada di Laut China Selatan, Kamboja, Myanmar, dan Srilanka.

Ibaratnya kekuatan poros Amerika Serikat dan China ini sudah saling berhadap-hadapan militernya. Amerika Serikat sangat ketar-ketir melihat perkembangan Angkatan Laut China yang setiap tahun menambah kapal perangnya. China memiliki angkatan laut terbesar di dunia saat ini, dengan 355 kapal. Pada tahun 2025, People's Liberation Army Navy (PLAN) diperkirakan akan bertambah secara bertahap menjadi 420 kapal, dan pada tahun 2030 menjadi 460 kapal.

Ketiga, menguatnya politik Blok Barat dan Blok Timur semakin membawa kondisi yang "menuju kematangan" untuk pecah perang. Perang Rusia dengan Ukraina dapat dikatakan sebagai perang yang merepresentasikan Blok Barat dan Blok Timur. Blok Barat adalah Amerika dan negara-negara Eropa, sementara Blok Timur adalah China, Rusia dan Korea Utara.

Konflik semakin menguat dan berpotensi menggeser peperangan di Indo-Pasifik. Kenapa Indo-Pasifik? Karena di wilayah ini memungkinkan untuk dijadikan proksi. Negara-negara di Asia Timur memiliki ingatan perang yang belum direkonsiliasi, sehingga mudah dipicu. Selain itu, lautan pasifik adalah jalur perdagangan dunia, maka dengan berperang di area ini, akan memicu perhatian seluruh dunia tersebab terganggunya jalur distribusi negara-negara di seluruh dunia.

Ketiga faktor di atas ibarat alarm pengingat bagi TNI untuk segera meningkatkan level strategi pertahanan mereka. Bingkai SPN yang sedang dikembangkan perlu memperhatikan dinamika perubahan lingkungan strategis di atas. Selain itu, dalam perumusan strategi pertahanan tetap mempertimbangkan lingkungan strategis dalam negeri, yakni kondisi geografi Indonesia sebagai negara kepulauan, pembangunan IKN, dan kapasitas dukungan anggaran dalam negeri.

Perkembangan lingkungan strategis sebagaimana dibahas, berpotensi memunculkan berbagai bentuk perang militer, yakni urban warfare, naval warfare, air warfare, cyber warfare, space warfare dan bio warfare. TNI harus melihatnya secara seimbang dan proporsional. Di negara kepulauan, seperti Indonesia, sebisa mungkin menghindari urban warfare dan bio warfare untuk meminimalisir dampak korban sipil dan kerugian yang lebih besar.

Dalam konteks ini, SPN diupayakan untuk memaksimalkan pertempuran di "mandala luar" dan "mandala utama" untuk mencegah musuh masuk ke "mandala dalam". Pilihan ini sangat masuk akal dalam konteks mengurangi korban sipil dan kerugian yang lebih besar. Dengan demikian SPN harus mampu untuk menyeimbangkan dan menyatukan strategi lintas matra, yakni Strategi Pulau Besar, Strategi Pertahanan Laut Nusantara (SPLN), Strategi Udara Kepulauan Nusantara (SUKN).

Dalam SPN, dukungan persenjataan canggih adalah harga mati. Misalnya, di wilayah "mandala luar", dukungan senjata, seperti rudal, seolah menjadi gertakan awal bagi para musuh di masa peperangan.

Saat ini TNI memiliki enam rudal penghancur, yakni Rudal Yakhont P-800 (daya jelajah 300 KM supersonik), Rudal Raytheon Agm 65 K2, Rudal KH-59ME, Rudal Exocet MM40 Block 3, Rudal R-73, Rudal RBS 15 MK3.

Di antara keenam rudal itu, Rudal Yakhont P-800 paling canggih. Hanya Rusia, Indonesia, Vietnam, Suriah, dan India yang memilikinya. Kecepatan dan daya jangkaunya yang luas, membuat nyali musuh ciut.

Karena itu, Rudal Yakhont P-800 banyak yang memburu, sehingga bernilai strategis dan sangat rahasia. Industri pertahanan Indonesia perlu mengembangkannya dengan lebih serius bekerja sama dengan BrahMos Aerospace, perusahaan pertahanan patungan Rusia-India.

Keenam rudal itu dapat dipasangkan di kapal perang, pesawat tempur, maupun kendaraan tempur darat. Maka sudah seharusnya TNI merawat, menambah, dan merahasiakan informasi detail persenjataan tersebut dan semua persenjataan canggih lainnya.

Bagi penulis, dalam pengembangan SPN perlu memperhatikan paradigma "Revolution in Military Affairs" (RMA). Karena paradigma RMA menyediakan kerangka yang bersifat menyeluruh dan responsif. RMA adalah perubahan mendasar di bidang kemiliteran yang mengubah metode berperang dengan menggabungkan teknologi inovatif, perubahan dramatis pada doktrin militer, konsep organisasi dan operasional serta mengubah secara mendasar karakter dan operasi militer secara keseluruhan.

Mantan Menteri Pertahanan Amerika Serikat William S. Cohen menyebutkan bahwa RMA muncul pada saat militer suatu negara memanfaatkan peluang untuk mentransformasi strategi, doktrin militer, pelatihan, pendidikan, organisasi, peralatan, operasi, dan taktik untuk mencapai kemenangan militer yang menentukan, melalui cara baru yang fundamental.

Dalam kerangka RMA, SPN membutuhkan doktrin, teknologi, dan organisasi yang sesuai dengan desain dan tujuan besarnya, yakni perhitungan alutsista, dukungan industri pertahanan, distribusi dan gelar pasukan, serta teknologi komunikasi yang lebih seimbang dan proporsional mengikuti titik/poros serangan musuh, baik yang aktual maupun potensial.

Desain Kogabwilhan sebagai basis koordinasi dan komando, perlu dikembangkan dan diperkuat dengan alutsista yang memiliki tingkat interoperabilitas tinggi, dapat diandalkan dengan berbagai rencana cadangan. Ke depan, Kogabwilhan diharapkan menjadi pangkalan militer gabungan yang lebih representatif. Karenanya, dibutuhkan pemetaan detail wilayah yang disinkronkan dengan kekuatan militer dan alutsista yang tersedia.

Pada akhirnya, kembali lagi bahwa strategi pertahanan disusun dan dikembangkan untuk mendukung cita-cita pembangunan nasional. Kekuatan dari berbagai sisi yang disatukan, membangun sinergi, memungkinkan kita mengolah potensi unggulan nasional untuk membangun pertahanan negara yang kuat dan tangguh guna mewujudkan Indonesia Emas 2045. Selamat HUT Ke-78 TNI.

*) Ngasiman Djoyonegoro adalah Analis Intelijen, Pertahanan dan Keamanan, Rektor ISTA Al-Kamal

Copyright © ANTARA 2023