Minyak sawit dapat memenuhi permintaan global minyak nabati berkelanjutan, namun eksploitasi citra negatif minyak kelapa harus dihentikan.

Jakarta (ANTARA) - Sebagai negara penghasil minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) terbesar di dunia, Indonesia dan Malaysia terus mencari dukungan untuk melawan diskriminasi yang dilayangkan Uni Eropa terhadap komoditas strategis tersebut.

Lewat penerapan kebijakan European Union Deforestatio-Free Regulation (EUDR) atau Undang-undang (UU) Antideforestasi, Uni Eropa membatasi produk sawit, daging, kopi, kayu, kakao, karet, kedelai, dan turunannya untuk masuk ke wilayah mereka dengan dalih menekan laju deforestasi, serta mencegah berlanjutnya degradasi dan penyalahgunaan hutan.

Maka, salah satu upaya yang ditempuh yakni dengan meyakinkan India, sebagai salah satu importir utama sawit, bahwa produk minyak sawit yang diproduksi Indonesia dan Malaysia merupakan produk unggulan yang telah memenuhi syarat keberlanjutan sebagaimana tuntutan negara di kawasan benua biru.

India tercatat sebagai negara pertama tujuan ekspor CPO Indonesia. Data Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat pada 2022, India merupakan negara tujuan ekspor terbesar Indonesia untuk produk kelapa sawit dengan nilai 5,65 miliar dolar AS, diikuti China 4,91 miliar dolar AS, Uni Eropa 4,36 miliar dolar AS, Pakistan 3,14 miliar dolar AS, dan Amerika Sekitar sebesar 2,37 miliar dolar AS.

Adapun berdasarkan data Reuters, India merupakan importir utama CPO Indonesia, dengan porsi impor mencapai 21,3 persen dari total impor CPO pada tahun 2016--2020.

India sendiri mengonsumsi sekitar 24 juta ton minyak nabati setiap tahun, sekitar 10,5 juta ton kebutuhan dipenuhi melalui produksi dalam negeri dan 13,5 juta ton sisanya diimpor.

Konsumsi yang tinggi ini sebanding dengan populasi negeri Hindustan yang mencapai 1,4 miliar penduduk.


Misi ke India

Selain karena merupakan importir minyak kelapa sawit terbesar baik bagi Indonesia maupun Malaysia, India memegang kunci penting dalam distribusi CPO dunia, termasuk ke Uni Eropa.

Hal itu lantaran India menjadi negara perantara yang mengekspor olahan minyak kelapa sawit ke pasar Eropa. Oleh karena itu, lewat gelaran 2nd Sustainable Vegetable Oils Conference (SVOC) di Mumbai, India, pada 27 September 2023, Dewan Negara-negara Produsen Minyak Sawit (Council of Palm Oil Producing Countries/CPOPC) melakukan misi penting untuk meyakinkan pasar India dalam rantai pasok minyak kelapa sawit.

Indonesia menekankan bahwa minyak sawit yang India impor telah memenuhi syarat keberlanjutan dan berasal dari perkebunan yang legal dan tidak merusak alam.

Indonesia dan Malaysia, sebagai dua negara utama penghasil minyak sawit, juga telah berkomitmen untuk tidak membuka lahan sawit baru dan hanya melakukan upaya intensifikasi guna memenuhi permintaan pasar.

Penegasan itu penting disampaikan lantaran India juga mengekspor olahan minyak kelapa sawit yang mereka impor ke daratan Eropa

"Eropa itu trend setter isu, jadi bahaya jika dibiarkan. Makanya kami harus menjelaskan bahwa minyak kelapa sawit yang kita hasilkan ini sudah ada standar keberlanjutan dan telah memenuhi syarat," kata Sekretaris Jenderal CPOPC Rizal Affandi Lukman.

Hal lain yang juga ditekankan dalam misi tersebut adalah pentingnya mempertahankan pasar di India karena potensinya yang besar karena konsumsinya yang tinggi.

Sayangnya, meski punya porsi yang cukup besar, konsumsi CPO asal Indonesia dan Malaysia di India perlahan menurun karena kampanye hitam terkait kerusakan alam dan lingkungan akibat perkebunan sawit yang aktif dilancarkan oknum tertentu.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyebut saat ini CPO yang diimpor dari Indonesia lebih banyak diperuntukkan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah dan horeka (hotel, restoran, dan katering) di India karena harganya yang lebih terjangkau dibanding minyak nabati lainnya.

Volume ekspor CPO ke India juga terlampau menurun. Pada tahun 2018 mencapai sekitar 6,9 juta ton senilai 4 miliar dolar AS, sedangkan per Juli 2023 volume ekspornya baru mencapai 3,2 juta ton.

"Ini karena kalangan menengah ke atas tidak pakai minyak sawit. Minyak sawit digunakan masyarakat kelas menengah ke bawah dan horeka," kata Ketua Bidang Luar Negeri Gapki M. Fadhil Hasan.

Pasar India sendiri bisa dibilang masih tidak terlalu terdampak dengan isu-isu keberlanjutan. Bagi negara tersebut, masalah harga menjadi pertimbangan utama dalam pemenuhan kebutuhan minyak nabati bagi masyarakatnya.

Oleh karena itu, penjelasan dan pemahaman soal manfaat dan dampak positif minyak kelapa sawit bagi pasar India diharapkan bisa mendukung keberlanjutan permintaan produk CPO di tingkat global, terlepas dari masalah harga.

Aktivitas penjual makanan di pinggir jalan kawasan Bandra, Mumbai, India. ANTARA/Ade Irma Junida

Masifnya kampanye hitam

Minyak kelapa sawit sejak dulu memang kerap mendapat persepsi negatif. Bukan hanya sekadar persepsi, ancaman itu pun kini menjadi-jadi dalam bentuk kampanye hitam.

Di sejumlah negara, banyak produk yang secara terang-terangan memberi peringatan tentang bahaya minyak kelapa sawit di kemasannya. Hal itu mulai dari dampak kesehatan hingga masalah lingkungan akibat praktik perkebunan yang dinilai tidak berkelanjutan, termasuk dampaknya terhadap kondisi satwa seperti orangutan.

Padahal, minyak kelapa sawit merupakan komoditas strategis karena jutaan petani kecil di Indonesia sangat bergantung kepadanya.

"Minyak sawit dapat memenuhi permintaan global minyak nabati berkelanjutan, namun eksploitasi citra negatif minyak kelapa harus dihentikan," kata Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga.

Walaupun diserang bertubi-tubi dengan kampanye hitam, komoditas ini masih punya tempat khusus. Minyak kelapa sawit merupakan minyak nabati dengan produktivitas tinggi dibandingkan minyak nabati lainnya.

Direktorat Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat pohon sawit memiliki produktivitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak lainnya.

Jika dibandingkan dengan sawit, maka produktivitas minyak yang dihasilkan dari 1 hektare lahan sawit dapat menghasilkan 35 kali lebih banyak dari jagung, 13 kali lebih banyak dari kedelai, 6 kali lebih banyak dari biji bunga matahari, 5 kali lebih banyak dari zaitun dan canola, 3 kali lebih banyak dari jarak pagar, serta 2 kali lebih banyak dari kelapa.

Secara ekonomi, masalah efisiensi produksi sawit memang cukup mengancam komoditas minyak nabati lainnya. Pasalnya, efisiensi minyak sawit yang relatif tinggi membuat harganya cenderung lebih kompetitif dibandingkan minyak nabati lainnya.

Wajar saja jika kemudian minyak sawit mendapat banyak batu sandungan, terlebih karena tidak dihasilkan negara maju, melainkan oleh negara berkembang seperti Indonesia dan Malaysia.

Minyak kelapa sawit juga merupakan salah satu minyak nabati yang paling ketat aturan di dunia. Produk minyak kelapa sawit dan turunannya wajib patuh terhadap berbagai standar keberlanjutan, di antaranya Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) di tingkat global serta Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) dan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) di tingkat nasional, yakni di Malaysia dan Indonesia.

Untuk mengatasi isu keberlanjutan yang terus menyerang komoditas kelapa sawit, Gapki menegaskan perlunya industri minyak sawit untuk mengadopsi dan menerapkan praktik keberlanjutan dalam pengelolaan industri di sepanjang rantai pasokan secara keseluruhan.

Seluruh produsen minyak nabati juga dinilai perlu memenuhi kebutuhan pangan dan energi dunia dengan produksi berkelanjutan dan berperan dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Di industri kelapa sawit, selain menerapkan praktik pertanian yang berkelanjutan dan baik, asosiasi ini juga mendorong semua produsen untuk melakukan mitigasi emisi gas rumah kaca.

Di tengah kondisi perang Rusia dan Ukraina yang terus berlanjut, kebutuhan akan minyak nabati berkelanjutan akan terus meningkat, terlebih pasokan minyak nabati berkelanjutan yang lebih dapat diandalkan dengan harga yang terjangkau seperti minyak kelapa sawit.

Penguatan pasar minyak sawit jadi jalan agar diskriminasi tidak menjegal komoditas tersebut. Diskriminasi justru akan membahayakan industri penopang kehidupan manusia, termasuk pangan dan energi.


Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023