Sleman (ANTARA) - PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko (TWC) meluncurkan satu pertunjukan seni tradisi baru bertajuk "Shinta Obong Fire Dance" di area Prambanan Riverfront untuk menyuguhkan atraksi hiburan pada malam hari kepada wisatawan.
"Pertunjukan 'Shinta Obong' menjadi alternatif bagi wisatawan yang ingin menikmati kawasan Candi Prambanan pada malam hari," kata Direktur Pemasaran, Pelayanan dan Pengembangan Usaha PT TWC Hetty Herawati di Sleman, Senin.
Pertunjukan "Shinta Obong Fire Dance" ini dipentaskan perdana pada Jumat malam (29/9).
"Semoga dengan kehadiran pertunjukan ini, menjadi magnet kunjungan baru di kawasan Candi Prambanan, sehingga bisa memberi kemaslahatan yang lebih luas bagi industri pariwisata Indonesia," katanya.
Ia mengatakan, atraksi baru ini melengkapi pertunjukan reguler yang telah hadir di Teater dan Pentas Ramayana Prambanan, yaitu Sendratari Ramayana Ballet Prambanan dan Drama Tari Roro Jonggrang.
"Pementasan Shinta Obong menghadirkan 'experience value' yang berbeda bagi wisatawan yang datang, dengan nuansa pertunjukan yang rekreatif sekaligus reflektif. Kehadiran Shinta Obong turut menyemarakkan atraksi seni budaya sebagai salah satu magnet kunjungan wisatawan di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah," katanya.
Shinta Obong Fire Dance merupakan pertunjukan yang diangkat dari satu fragmen cerita di epos Ramayana, yang berkisah tentang tokoh Shinta yang memiliki tekad kuat untuk menunjukkan kesetiaannya kepada Rama, hingga menerjunkan diri ke dalam api yang membesar. Sehingga pasangan Rama dan Shinta dijadikan sebagai simbol kesetiaan yang tak lekang oleh zaman.
Pertunjukan Shinta Obong menghadirkan sajian pertunjukan dengan gerak tari berlanggam Jawa dengan pemaknaan yang lebih sakral serta bermakna simbolik. Penonton disajikan dengan cerita tentang tokoh Shinta yang merasakan kesedihan dan kerinduan kepada Rama.
Kebimbangan, cemas serta kecewa dirasakan Shinta, karena Rama meragukan kesuciannya. Hingga Shinta pun harus membakar diri untuk membuktikan kesetiaan serta kesuciannya kepada Rama.
Proses pembakaran diri ini divisualisasikan dengan pertunjukan fire dance yang atraktif. Ekspresi tari yang memanjakan mata dihasilkan di dalam pertunjukan dengan bantuan visual serta teknik gerak yang eksplosif.
"Pertunjukan fire dance ini selain menjadi atraksi utama, sekaligus menghadirkan keindahan estetis yang berbeda dari atraksi seni budaya lainnya," katanya.
Pertunjukan Shinta Obong berbeda dengan pertunjukan lain, dengan lebih menitikberatkan kepada interaksi serta keterlibatan langsung pengunjung yang hadir. Sehingga, diharapkan pengunjung bisa mengalami "experience" yang dihadirkan dalam pertunjukan secara paripurna.
"Pengunjung diajak secara langsung terlibat dalam pertunjukan Shinta Obong, dimulai dari arak-arakan, prosesi blessing (pemberkatan) di awal pertunjukan, serta mendapatkan gelang yang sudah diberkati oleh pemangku setelah pertunjukan usai. Shinta Obong, juga menghadirkan pengiring musik secara live, sehingga pertunjukan menjadi lebih hidup," katanya.
Setelah pementasan, para pengunjung digiring memasuki area Hadangan Harang untuk menikmati hidangan dengan menu lokal yang bercita rasa khas dan otentik. Sehingga, pertunjukan Shinta Obong menjadi satu kesatuan sajian yang lengkap serta experience yang memikat.
"Pertunjukan ini memang kita hadirkan dengan pendekatan yang berbeda dari dua pertunjukan lain (Ramayana dan Roro Jonggrang), di mana keterlibatan pengunjung menjadi hal utama," katanya.
Hetty mengatakan, pertunjukan Shinta Obong ini sekaligus memperkenalkan satu area baru di kawasan Teater dan Pentas Ramayana, Prambanan, yaitu Prambanan Riverfront.
"Area ini berada persis di tepi Sungai Opak, yang berada persis di sisi barat Candi Prambanan. Pertunjukan ini menjadi sajian yang spektakuler, dengan lokasi yang menyajikan kemegahan Candi Prambanan pada waktu malam sebagai latar belakang pementasan," katanya.
Area Riverfront ini menjadi lokasi baru yang menghadirkan kawasan hijau yang menambah estetika dan mendukung aktivitas wisata di destinasi Warisan Budaya Dunia UNESCO.
Pewarta: Victorianus Sat Pranyoto
Editor: Evi Ratnawati
Copyright © ANTARA 2023