Malang (ANTARA) - Duka itu masih menyelimuti Siti Mardiyah (55) dan Andik Kurniawan (32). Duka dimana 135 orang menjadi korban meninggal dunia dan ratusan lainnya mengalami luka-luka, dalam peristiwa Tragedi Kanjuruhan, 1 Oktober 2022.
Siti Mardiyah yang kerap disapa Kholifah, seorang ibu yang kehilangan putrinya, Mitha Maulidia. Kakak tertua Mitha, Andik Kurniawan, juga masih tidak percaya bahwa adik perempuan satu-satunya itu, telah berpulang.
Sejumlah foto Mitha Maulidia, tergantung di rumah sederhana yang berada di Jalan Ternate, Kelurahan Kasin, Kecamatan Klojen, Kota Malang, Jawa Timur, itu. Mitha dimakamkan pada Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kasin, yang tidak jauh dari kediaman itu.
Rasa rindu seorang ibu pada anak perempuan satu-satunya itu, seringkali tidak terbendung. Derai air mata kini menghiasi hari-hari Kholifah, terlebih saat ia teringat sosok putri yang sehari-hari sering menghabiskan waktu bersama dirinya.
Dengan perasaan rindu yang membuncah, setiap hari, satu tahun terakhir, Kholifah menguatkan hati untuk berziarah ke makam anaknya yang kurang lebih berada 300 meter dari kediamannya. Dua kali dalam sehari, pagi dan sore, Kholifah mengobati rindu itu dengan menyisihkan waktu ke makam buah hatinya.
Hanya doa yang bisa ia panjatkan pada buah hati yang nyawanya terenggut pada peristiwa memilukan dalam sejarah sepak bola Indonesia. Sejarah yang akan selalu ia kenang, yang mengakibatkan hilangnya sosok berharga di dalam keluarga.
Dalam wawancara dengan sejumlah media di kediamannya, seringkali tatapan mata Kholifah masih kosong. Air mata juga tidak henti keluar dari mata perempuan berusia 55 tahun itu. Berusaha untuk ikhlas atas kehilangan yang sangat mendadak dan tidak terduga.
Satu tahun sejak ia harus menerima kenyataan bahwa buah hatinya telah berpulang, banyak hal yang berubah dalam kehidupannya. Nafsu makan menghilang, seiring rasa rindu yang terus mengingatkan ia pada sosok gadis yang terakhir berusia 26 tahun itu.
Tidak jarang juga ia tiba-tiba berlari ke pusara anaknya, saat kerinduan itu tidak tertahankan. Ia hanya bisa menangis di samping batu nisan yang menjadi penanda terakhir di mana anak kesayangannya itu dimakamkan.
Sosok Mitha Maulidia, bukan hanya sebagai anak yang dekat dengan orang tuanya. Bagi Kholifah, Mitha merupakan sahabat, teman sekaligus tempat ia bercerita dan berkeluh kesah atas apa yang ia rasakan di dalam hidup.
Sosok itu kini hanya tinggal nama yang abadi dalam kenangan. Kepergian Mitha yang mendadak, menorehkan luka dalam dan membekas di hati Kholifah. Ia mencoba ikhlas, meskipun dengan berat hati.
Hidupnya tak lagi sama. Tidak ada lagi senyum dari anak gadis kesayangannya itu. Hanya lantunan doa yang sama setiap hari, yang ia panjatkan kepada Pencipta untuk mengampuni dosa anaknya dan menempatkan ia di surga.
Hingga saat ini, Kholifah tidak mengetahui secara detail peristiwa yang merenggut nyawa anaknya itu. Ia menolak untuk mendapatkan cerita pilu itu dari keluarga yang pada malam kelabu itu bersama Mitha berada di Pintu 13 Stadion Kanjuruhan.
Detail cerita itu, tak sanggup ia dengarkan yang pada akhirnya bisa membuat pikirannya semakin kalut dan membayangkan apa yang menimpa anak gadisnya. Perasaan yang menyayat hati, juga masih menyelimutinya ketika harus berkunjung ke Stadion Kanjuruhan.
"Anak saya berada di Tribun 13. Saya tidak bisa bicara kalau di Kanjuruhan. Perasaan sakit, mencoba membayangkan apa yang terjadi terhadap anak saya," kata Kholifah.
Saat ini, Kholifah perlahan masih berusaha bangkit atas peristiwa yang menyebabkan anak gadisnya itu meninggal dunia. Ia tidak berharap banyak atas keadilan kepada para pihak yang harus bertanggung jawab pada Tragedi Kanjuruhan.
"Biar Tuhan yang mengadili mereka," katanya.
Demi Keadilan
Satu tahun lalu, hujan deras turun merata mulai dari Kota Malang hingga Kabupaten Malang, menjelang laga antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya. Puluhan ribu pendukung Arema FC menerobos derasnya hujan untuk menyaksikan tim kesayangan mereka berlaga.
Tepat satu tahun berlalu, hujan tak lagi membasahi Bumi Arema atau sebutan untuk wilayah Malang Raya. Panas terik menyengat kulit, seolah menjadi pengingat, bahwa masih ada dahaga akan keadilan dari peristiwa Tragedi Kanjuruhan.
Dalam peristiwa yang menyebabkan 135 orang meninggal dunia dan ratusan orang lainnya mengalami luka-luka, proses peradilan terhadap sejumlah orang yang dianggap paling bertanggung jawab sudah berjalan.
Mahkamah Agung memutuskan untuk Ketua Panitia Pelaksana pertandingan Abdul Haris dihukum dua tahun penjara, Security Officer Suko Sutrisno divonis satu tahun, mantan Danki 3 Brimob Polda Jawa Timur Hasdarmawan 1,5 tahun,
Kasat Samapta Polres Malang Bambang Sidik Achmadi divonis dua tahun penjara, Kabag Ops Polres Malang Wahyu Setyo Pranoto dihukum 2,5 tahun.
Sementara Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB) saat itu, Ahmad Hadian Lukita, dibebaskan karena berkas perkara dikembalikan kepada penyidik akibat tidak memenuhi persyaratan untuk dilanjutkan ke penuntutan atau P-21.
Keputusan tersebut, dinilai terlalu ringan oleh keluarga korban Tragedi Kanjuruhan. Keluarga menuntut adanya hukuman yang berat bagi para pelaku atau aktor utama pada peristiwa yang terjadi pascakekalahan Arema FC atas Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan.
Keluarga korban Tragedi Kanjuruhan yang diwakili oleh Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan (TATAK) telah membuat laporan resmi ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri pada pekan lalu.
Laporan itu, dilayangkan usai Laporan Model B ke Kepolisian Resor (Polres) Malang dinyatakan dihentikan. Dalam laporan baru ke Bareskrim Mabes Polri tersebut, mencantumkan sejumlah pasal yang dianggap pantas untuk mengadili para pelaku.
Pasal yang dicantumkan adalah Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pembunuhan dan Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana. Selain itu, juga Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan dan Undang-Undang terkait Tindak Pidana Kekerasan pada Perempuan dan Anak.
Meskipun sang Ibu tidak berharap banyak untuk mendapatkan keadilan atas peristiwa Tragedi Kanjuruhan, perjuangan untuk mendapatkan keadilan itu masih terus disuarakan tanpa lelah oleh anak pertamanya, Andik.
Andik yang merupakan kakak tertua Mitha, tetap berharap proses hukum dan keadilan bisa diterima oleh seluruh korban dalam peristiwa Tragedi Kanjuruhan. Orang-orang yang bersalah dan menyebabkan hilangnya 135 nyawa itu, harus bertanggung jawab atas perbuatan mereka.
Bagi Andik yang juga menjadi salah satu perwakilan keluarga korban yang melapor ke Bareskrim Mabes Polri, ia sangat berharap ada keadilan untuk mendiang adiknya dan 134 korban lainnya. Pelaku yang memerintahkan penembakan gas air mata, harus mendapatkan hukuman berat.
"Putusan pengadilan masih jauh dari kata cukup," kata Andik.
Meski diliputi kesedihan yang tak akan pernah hilang, Andik bersama Kholifah tidak akan berhenti untuk tetap melantunkan doa-doa kepada Mitha yang telah berpulang. Tepat satu tahun, langkah berat Andik dan Kholifah akan mengiringi mereka ke Stadion Kanjuruhan.
Lantunan doa dari ratusan keluarga korban dan ribuan Aremania, pendukung Arema FC, akan kembali menggema di titik nol peristiwa kelam tersebut dalam peringatan Satu Tahun Peristiwa Kanjuruhan.
Stadion Kanjuruhan sendiri, yang menjadi saksi bisu peristiwa memilukan pada 1 Oktober 2022, sudah mulai direnovasi. Renovasi stadion yang berada di Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, itu tidak sepenuhnya direstui oleh keluarga korban.
Sebagian besar keluarga korban beranggapan bahwa Stadion Kanjuruhan merupakan lokasi tempat terjadinya peristiwa kelam tersebut, dan masih dibutuhkan dalam proses penanganan hukum ke depan.
Stadion Kanjuruhan sendiri, juga masih menjadi tempat bagi keluarga korban untuk melantunkan rangkaian doa dan luapan kesedihan, tempat dimana kerabat atau orang tersayang mereka mengembuskan napas terakhir.
Luka akibat peristiwa paling kelam di sepak bola Indonesia itu, tidak akan pernah hilang. Meskipun mengering, luka yang cukup dalam itu menjadi pengingat seluruh insan sepak bola di Tanah Air dan dunia, bahwa peristiwa memilukan ini, menanti keadilan.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023