... Fungsi utama wartawan membuat berita, sedangkan pemasukan uang iklan tugas bagian pemasaran... Kredibilitas wartawan yang mencari iklan dapat menurun... "Batam, Kepulauan Riau (ANTARA News) - Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, menegaskan, fungsi wartawan dengan pencari iklan harus dipisahkan, sebab masing-masing berbeda dan berdasarkan etika profesi tidak boleh disatukan.
"Fungsi utama wartawan membuat berita, sedangkan pemasukan uang iklan untuk menopang biaya perusahaan tugas bagian pemasaran," kata Manan, menjawab pers di Batam, Kepulauan Riau, Kamis Kamis.
Dia ada di Batam untuk sosialisasi nota kesepahamanan antara Dewan Pers, Kepolisian Indonesia, serta Kejaksaan Agung tentang koordinasi penegakan hukum, perlindungan kemerdekaan pers, dan peningkatan kesadaran hukum masyarakat.
Ia mengatakan, "Umumnya perusahaan pers mengetahui pencampuradukan fungsi kewartawanan dengan pencari iklan itu pelanggaran etika profesi, tetapi mereka masih saja membiarkan dengan alasan penghematan."
Praktik yang tidak memisahkan kewartawanan dengan periklanan, katanya, mengganggu kepercayaan dan kepentingan publik dalam mendapatkan konten berita yang independen.
Padahal, kata Manan, pada sisi lain, bisnis pers sebagai industri pada dasarnya bergantung pada seberapa besar kepercayaan publik.
Ia mengingatkan "Kredibilitas wartawan yang mencari iklan dapat menurun di mata narasumber."
Ia menganjurkan, daripada mencari penghasilan tambahan dari komisi iklan untuk perusahaan, wartawan lebih baik bekerja ekstra, misalnya sebagai wartawan tulis, juga membuat foto berita atau artikel yang berhonor.
Menjadi wartawan, katanya, sama seperti dosen, harus siap hidup sederhana. "Kalau ingin menjadi konglomerat, sebaiknya jadi pedagang, bukan jadi doesn atau wartawan," ujar Manan, yang pada April 2013 terpilih menjadi ketua Dewan Pers untuk periode kedua.
Anggota Dewan Pers, M Ridlo Eisy, menuturkan, di Harian Pikiran Rakyat, Bandung Jawa Barat, tempatnya bekerja, sejak 1982 diberlakukan larangan keras wartawan mencari iklan.
Kebijakan perusahaan, katanya, diambil berdasarkan dua kepentingan yaitu menegakkan etika profesi kewartawanan sekaligus bisnis.
Filosofinya supaya wartawan bekerja sesuai dengan fungsi utama. "Sedangkan, secara bisnis, tidak lagi terjadi redaktur pada saban sore kekurangan bahan berita akibat banyak wartawan mendahulukan iklan untuk mendapatkan komisi 20 persen," katanya.
Mengenai standarisasi gaji wartawan dewasa ini, Ridlo mengemukakan, Dewan Pers tidak merumuskan tersendiri, dan tidak pula mengacu pada usulan dari asosiasi kewartawanan yang besarannya belum tentu sesuai dengan kemampuan semua perusahaan.
Dewan Pers, katanya, bersikap mendorong perusahaan media untuk minimal menerapkan upah minimum provinsi sesuai dengan Undang Undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Ia mengingatkan, perusahan pers supaya menaati UU tersebut sebab bila ada wartawan berstatus pegawai tetap yang dibayar di bawah nilai UMP mengadukan ke pengadilan, pengusaha bersangkutan dapat dikenai hukuman pidana penjara atau denda perdata.
Ia mengatakan, "Umumnya perusahaan pers mengetahui pencampuradukan fungsi kewartawanan dengan pencari iklan itu pelanggaran etika profesi, tetapi mereka masih saja membiarkan dengan alasan penghematan."
Praktik yang tidak memisahkan kewartawanan dengan periklanan, katanya, mengganggu kepercayaan dan kepentingan publik dalam mendapatkan konten berita yang independen.
Padahal, kata Manan, pada sisi lain, bisnis pers sebagai industri pada dasarnya bergantung pada seberapa besar kepercayaan publik.
Ia mengingatkan "Kredibilitas wartawan yang mencari iklan dapat menurun di mata narasumber."
Ia menganjurkan, daripada mencari penghasilan tambahan dari komisi iklan untuk perusahaan, wartawan lebih baik bekerja ekstra, misalnya sebagai wartawan tulis, juga membuat foto berita atau artikel yang berhonor.
Menjadi wartawan, katanya, sama seperti dosen, harus siap hidup sederhana. "Kalau ingin menjadi konglomerat, sebaiknya jadi pedagang, bukan jadi doesn atau wartawan," ujar Manan, yang pada April 2013 terpilih menjadi ketua Dewan Pers untuk periode kedua.
Anggota Dewan Pers, M Ridlo Eisy, menuturkan, di Harian Pikiran Rakyat, Bandung Jawa Barat, tempatnya bekerja, sejak 1982 diberlakukan larangan keras wartawan mencari iklan.
Kebijakan perusahaan, katanya, diambil berdasarkan dua kepentingan yaitu menegakkan etika profesi kewartawanan sekaligus bisnis.
Filosofinya supaya wartawan bekerja sesuai dengan fungsi utama. "Sedangkan, secara bisnis, tidak lagi terjadi redaktur pada saban sore kekurangan bahan berita akibat banyak wartawan mendahulukan iklan untuk mendapatkan komisi 20 persen," katanya.
Mengenai standarisasi gaji wartawan dewasa ini, Ridlo mengemukakan, Dewan Pers tidak merumuskan tersendiri, dan tidak pula mengacu pada usulan dari asosiasi kewartawanan yang besarannya belum tentu sesuai dengan kemampuan semua perusahaan.
Dewan Pers, katanya, bersikap mendorong perusahaan media untuk minimal menerapkan upah minimum provinsi sesuai dengan Undang Undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Ia mengingatkan, perusahan pers supaya menaati UU tersebut sebab bila ada wartawan berstatus pegawai tetap yang dibayar di bawah nilai UMP mengadukan ke pengadilan, pengusaha bersangkutan dapat dikenai hukuman pidana penjara atau denda perdata.
Pewarta: Jo Seng Bie
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2013