Jakarta (ANTARA News) - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) harus melakukan pembenahan intern dan tidak sekedar membantu KPK dalam menangani para pegawainya yang terlibat suap yang mengesankan "seolah terjadi perang internal".
"Ditangkapnya pegawai pajak oleh KPK, Mohammad Dian Irwan Nuqishira dan Eko Darmayanto merupakan cara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) membenahi perpajakan. Info valid yang diterima KPK pasti dari sumber internal DJP," kata anggota Komisi XI DPR RI, Achsanul Qosasi, di gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis.
Namun, cara tersebut tidak bisa dilakukan terus menerus, karena juga akan berpengaruh terhadap mental dan motivasi pegawai yang lain. "Seolah terjadi 'perang intern' dan saling menjatuhkan. DJP harus membenahi institusi tersebut secara intern, yakni memberikan sanksi tegas tanpa publikasi," kata dia.
Menurut Achsanul, permainan pajak ini bukan hanya melibatkan pegawai tapi juga rayuan wajib pajak.Ia juga menyebutkan, modus lain terjadinya suap oleh pegawai pajak dapat terjadi karena jumlah pemeriksa pajak tak sebanding dengan jumlah perusahaan yang akan diperiksa. Sehingga, terjadi kongkalingkong.
"Pemeriksa pajak hanya 8 ribu orang, sementara perusahaan berjumlah 13 juta. Ratio ini sangat timpang, 1 orang pegawai memeriksa 1.200 perusahaan. Kelemahan inilah yang dimanfaatkan oleh penjahat perpajakan dengan menyuap pemeriksa pajak," kata Achsanul.
Modus lainnya terkait perpajakan adalah pemalsuan faktur pajak. Seperti yang terjadi di Bea Cukai, Jakarta Timur.
Menurutnya, penerbit faktur pajak fiktif adalah kejahatan paling tinggi dalam dunia perpajakan karena langsung menjarah hasil PPn yang disetor rakyat, menipu transaksi, memanipuasi PPh, dan mengambil hak negara.
"Kejahatan dengan modus seperti ini, sambungnya. dilakukan oleh banyak perusahaan penerbit faktur pajak fiktif, yang dibuat sesaat, setelah itu dibubarkan setiap 2 tahun dan membuat perusahaan baru," katanya.
Oleh karenanya, DJP harus bisa mendeteksi perusahaan penerbit dan perusahaan pemakai Faktur Pajak Fiktif. Karyawan pajak akan tergoda bermain atau mungkin lalai mendeteksi hal ini sehingga melakukan pembiaran dan atau mengambil keuntungan dari modus seperti ini.
"Diprediksi, bahwa transaksi-transaksi seperti ini merugikan negara Rp50 triliun pertahun," kata Achsanul.
(Zul)
Pewarta: Zul Sikumbang
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2013