Kairo (ANTARA News) - Sejumlah militan terkait Al Qaida yang ditangkap di Mesir merencanakan serangan bom bunuh diri terhadap kedutaan-kedutaan besar AS dan Prancis, kata Kantor Berita MENA mengutip penyelidik, Rabu.

Pihak berwenang Sabtu mengumumkan penangkapan tiga orang Mesir yang terkait dengan Al Qaida dan mengatakan, mereka memiliki 10 kilogram bahan peledak.

"Penyelidik mengungkapkan bahwa para tersangka berniat melancarkan operasi pemboman teroris di Mesir dengan serangan bunuh diri, menembus penjagaan keamanan di depan kedutaan-kedutaan besar AS dan Prancis dengan bom mobil," kata MENA mengutip satu sumber di kantor kejaksaan keamanan negara, lapor Reuters.

MENA mengatakan, para tersangka melarikan diri dari penjara selama pemberontakan yang menggulingkan kekuasaan Hosni Mubarak pada 2011.

Sebelum itu, salah satu dari mereka diekstradisi ke Mesir dari Aljazair dan seorang lagi dideportasi dari Iran, dimana ia bergabung dengan kelompok-kelompok yang memerangi pasukan AS di Irak dan negara Teluk, kata MENA.

Tersangka itu ditangkap oleh Iran pada 2006 dan dideportasi ke Mesir.

Intervensi militer Prancis di Mali disebut-sebut sebagai alasan para tersangka untuk merencanakan serangan terhadap Kedutaan Besar Prancis.

Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.

Pasukan Prancis yang ditempatkan di Mali kini berjumlah sekitar 4.500 orang namun secara bertahap akan digantikan mulai Juli oleh pasukan penjaga perdamaian berkekuatan 12.600 orang yang bertanggung jawab atas kestabilan wilayah utara Mali. Pembentukan pasukan itu telah disahkan oleh Dewan Keamanan PBB.

Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret 2012 menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.

Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.

Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis, sejak April tahun lalu. (M014)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013