masyarakat Indonesia, khususnya bibit-bibit muda yang tinggi-tinggi badannya, ayo ke rowing
Jakarta (ANTARA) - Juara SEA Games 2021 Rifqi Haritz Taufiqurahman merasakan sendiri bagaimana olahraga dayung begitu populer di China saat berpartisipasi pada Asian Games Hangzhou.
Di arena dayung Fuyang Water Sports Centre, sekira 45 menit perjalanan dari Hangzhou, delapan atlet China yang sedang memanggul perahunya menuju garasi diserbu puluhan awak media setempat bak selebritas menyusul kemenangan mereka di nomor men's eight.
Dengan armada atlet-atlet juara dunia dan juara women's quadruple sculls Olimpiade Tokyo, China tampil dominan dengan membawa 11 medali emas dari 14 yang diperebutkan di Asian Games.
Tak jarang tim tuan rumah finis terdepan dengan margin 10 detik dari lawan terdekatnya.
Sementara, tim dayung Indonesia hanya mampu mengonversi tujuh final yang mereka ikuti menjadi tiga medali perunggu. Setidaknya prestasi itu menjadikan tim Merah Putih menjadi yang terbaik di antara negara-negara Asia Tenggara, berbagi peringkat dengan Vietnam dengan perolehan medali yang sama banyaknya.
"Di tingkat Asia ini China sudah jelas lebih unggul, sedangkan Indonesia menjadi yang terbaik di wilayah ASEAN," kata Rifqi.
Di lubuk hatinya, Rifqi, yang membantu tim Merah Putih merebut perunggu nomor men's eight di Hangzhou, ingin mengajak generasi muda Indonesia untuk menyelami olahraga dayung meskipun olahraga air itu kurang populer di kampung halaman.
Karena, menurut dia, regenerasi yang baik, yang didukung dengan ekosistem kompetisi di dalam negeri, akan menjadi pondasi bagi tim Indonesia untuk bisa lebih bersaing di tingkat Asia dan dunia.
Pria asal Bandung kelahiran 20 Oktober 1999 itu pada awalnya juga tidak memiliki ketertarikan di dayung. Dengan postur tinggi 1,81m, Rifqi lebih memilih menekuni bola basket sewaktu SMA sebelum bertemu dengan Dede Rohmat Nurjaya, teman dari ayahnya, yang mengenalkan Rifqi ke dayung.
Menyaksikan sendiri persaingan di level Asia Tenggara hingga dunia, Rifqi menyadari postur atlet sangat menentukan dalam berpacu menjadi yang tercepat pada lintasan sepanjang 2.000 meter itu.
Tim China sendiri diperkuat atlet-atlet dengan tinggi badan 190 cm hingga 2 meter, melebihi postur rata-rata orang Asia.
Di level Asia maupun dunia, rowing ini dilihat dari postur tinggi badannya yang menentukan kekuatan tungkai, kekuatan jangkauan. Atlet mengayuh itu perlu kaki jangkauan yang panjang.
"Makanya, masyarakat Indonesia khususnya bibit-bibit muda yang tinggi-tinggi badannya, ayo ke rowing," ajaknya.
Rekan sepelatnas, Ihram, juga ingin dayung menjadi salah satu olahraga yang diminati di Indonesia karena dari segi prestasi rowing tidak kalah dari cabang-cabang olahraga lainnya.
"Bagaimana ya, olahraga dayung kurang peminatnya," kata Ihram yang kebingungan ketika diminta mengajak muda-mudi Indonesia mengikuti jejaknya.
Akan tetapi peluang meraih medali di dayung itu lebih besar di Asia Tenggara dari pada cabang-cabang olahraga lain, kata Ihram yang telah mengantongi delapan medali emas dari SEA Games dan satu emas Asian Games itu.
Bahkan pada dua seri Olimpiade terakhir, Indonesia mampu mengirimkan wakil ke pesta olahraga dunia itu lewat Memo di Rio de Janeiro dan duet Mutiara Rahma Putri/Melani Putri di Tokyo.
Oleh karena itu, kiranya para pemangku kepentingan jangan hanya bisanya menuntut perolehan medali yang banyak, namun juga bagaimana mereka menciptakan ekosistem kompetisi dan penjenjangan yang baik.
Pasalnya, Rifqi, Ihram dkk. merasakan minimnya kejuaraan di tingkat nasional, bahkan di POMnas pun dayung tidak dilombakan padahal beberapa universitas memiliki unit kegiatan mahasiswa dayung seperti di UPI Bandung, tempat Rifqi menimba ilmu.
Dalam setahun saja, katanya, hanya ada satu kali kejuaraan, sementara di Eropa sana kejuaraan bisa sampai enam kali. Hanya ada kejurnas di Indonesia, itu pun satu tahun sekali, dan PON setiap 4 tahun sekali.
Belum lagi problematika terkait anggaran. Pelatnas yang seharusnya berjalan berkesinambungan, terkadang berhenti saat para atlet dikembalikan ke daerah untuk pelatda.
Manajer rowing Indonesia Budiman Setiawan sangat menekankan kontinuitas latihan tingkat nasional.
Pasalnya, begitu pelatnas berhenti dan program latihan atlet diserahkan ke daerah, akan sulit mengembalikan performa atlet ke puncaknya.
Pelatnas dayung 2023 misalnya akan berhenti pada akhir tahun nanti. Padahal tim dayung sedang berupaya menembus kualifikasi Olimpiade dan pada 2025 nanti ada SEA Games.
"Begitu pelatnas berhenti dan kita serahkan ke pelatda, untuk naik (performa) lagi repot," kata Budiman.
Untuk menyiapkan, Ihram, yang langganan membawa pulang emas SEA Games, tim dayung Indonesia membina pria asal Wakatobi itu di pelatnas sejak 2011, jadi tidak ada yang instan.
Adapun Rifqi, yang baru bergabung pelatnas pada 2019, sangat berharap adanya regenerasi yang lebih baik untuk meneruskan perjuangan mereka dan rekan-rekannya dan meraih prestasi yang lebih tinggi.
"Apabila kita sudah ada bibit-bibit regenerasi yang menunjang, bukan tidak mungkin Indonesia masa depannya lebih baik dari sekarang," kata Rifqi.
Ketua umum PB PODSI Basuki Hadimuljono, saat menyaksikan langsung pertandingan final di Asian Games Hangzhou, ingin Indonesia belajar dari China dalam menyiapkan atlet-atlet dayung mereka.
"Kita lihat atlet China berapa tingginya, bisa sampai 190cm. Jadi ini sudah tidak main-main mereka menyiapkannya," kata Basuki yang juga Chef de Mission Kontingen Indonesia di Asian Games Hangzhou itu.
Oleh karenanya, "kita harus punya talent scouting yang serius. Asal kita serius (bisa berprestasi), kita harus fokus," kata pria yang juga Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI itu.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023