Lebih baik fokus pada energi terbarukan saja, sementara regulasi mengenai energi baru dimasukkan dalam perubahan undang-undang sektoral

Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum lingkungan dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Yulinda Adharani menilai Indonesia membutuhkan payung hukum khusus untuk energi terbarukan, karena penggabungan regulasi dengan energi baru justru kontraproduktif.

"Istilah 'new energy' itu tidak dikenal di dunia internasional. Dan, ketika Indonesia seharusnya lebih ambisius dalam mencapai target bauran energi terbarukan, rencana regulasi yang sedang disusun malah tidak sejalan dengan ambisi itu," kata Yulinda dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa.

Energi baru adalah energi yang dihasilkan dari teknologi baru baik yang berasal dari sumber terbarukan maupun tidak terbarukan contohnya hidrogen dan nuklir.

Sementara, energi terbarukan berasal dari sumber daya energi yang berkelanjutan seperti panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, dan aliran air.

Yulinda merekomendasikan beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah terkait dengan energi terbarukan. Pertama, perlu ada lembaga atau badan khusus yang mengelola energi terbarukan agar capaian transisi energi terlaksana dengan baik.

Kedua, jika tujuannya untuk transisi energi, lebih baik fokus pada energi terbarukan saja, sementara regulasi mengenai energi baru dimasukkan dalam perubahan undang-undang sektoral.

Ketiga, perlu ada penguatan peran pemerintah daerah serta partisipasi publik dalam mengelola energi terbarukan. Keempat, tetap memperhatikan lingkungan dan mengutamakan teknologi ramah lingkungan.

Yulinda menilai Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) telah mempertimbangkan manfaat energi terbarukan bagi lingkungan, tetapi realisasi dari peraturan tersebut perlu dipertegas.

"Karena bagaimana pun dalam draf yang sudah ada sekarang pun, sudah mengatur bahwa regulasi ini akan mempertimbangkan manfaatnya bagi lingkungan, hanya saja realisasi dari ketentuan itu yang masih perlu dipertegas," ujarnya.

Sementara itu, pengamat hukum lingkungan lulusan Universitas Indonesia Fajri Fadhillah mengatakan RUU EBET harus mempertimbangkan nilai keekonomian dari energi baru salah satunya manfaat kesehatan.

"Sementara kita tahu, penggunaan energi baru yang bersumber dari bahan bakar fosil justru berdampak buruk pada kesehatan jangka panjang, melalui penurunan kualitas udara," katanya.

Fajri menambahkan pemerintah dan DPR sebaiknya hanya mengatur energi terbarukan yang sumber energinya berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Sementara, ketentuan terkait energi baru yang sumbernya dapat berasal dari bahan bakar fosil tidak perlu ditambahkan dalam rancangan regulasi.

Baca juga: Kementerian ESDM sebut RUU EBET masih dibahas
Baca juga: DPR perpanjang pembahasan RUU EBET, RUU KSDAHE dan RUU KIA
Baca juga: Pembahasan RUU EBET ditargetkan rampung September 2023

Pewarta: Farhan Arda Nugraha
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2023