Bondowoso (ANTARA) - Suatu hari, Disiree Luhulima bertemu dengan sejumlah murid di suatu sekolah di negeri entah berantah. Ia senang dengan keadaan sekolah yang bersebelahan dengan sungai kecil.
Ketika bel istirahat berdenting, Desiree melihat para murid berhamburan ke warung makan yang dipisahkan oleh sungai kecil itu dengan lokasi sekolah. Anak-anak membeli minuman dalam gelas plastik yang dingin.
Iseng, Desi, panggilan akrab Desiree, sarjana metalurgi dari Universitas Indonesia dan peraih gelar master teknik dari universitas di Belgia itu bertanya kepada murid-murid mengenai gelas plastik. Mereka menjawab serentak bahwa bekas bungkus minuman itu harus dibuang ke tong sampah.
Kenapa ke tong sampah? Mereka juga lancar menjawab bahwa plastik itu sulit diurai oleh tanah, sehingga tidak boleh dibuang sembarangan. Sekilas, Desi kagum pada anak-anak itu.
Ia menjadi kaget ketika bel sekolah berbunyi tanda pelajaran akan dimulai, anak-anak itu berlarian dan melempar gelas plastik itu ke sungai. Hati Desi bergemuruh, mengapa ada jarak antara pengetahuan anak-anak tadi dengan perilakunya?
"Kok meleset ya, antara yang diucapkan dengan yang dilakukan? Ini melesetnya dimana? Itu yang menjadi pertanyaan di benak saya," ucap Desi dalam perbincangan dengan ANTARA via zoom yang juga diikuti beberapa praktisi pendidikan, Sabtu (23/9) siang.
Perbincangan santai terkait rencana peluncuran buku yang ditulis oleh Desi dengan judul "Wujudkan Anak Bahagia; Pra-Pendidikan Dasar Metode Finlandia" itu difasilitasi oleh aktivis literasi hijau Naning Pranoto. Hadir juga dalam perbincangan itu, Dewi Parwati Setyorini (penulis yang juga ibu dari artis Dian Sastro), Wahyu Rinanto dari penerbit Literaloka, dan sastrawan serta akademikus Dr Sutejo, MHum.
Pengalaman bertemu dengan murid yang membuang sampah plastik ke sungai itu menggugah Desi untuk membagikan model pendidikan di Finlandia yang dia juga menjadi bagian di dalamnya untuk dipelajari semua orang di Indonesia.
Desi yang di masa purna tugasnya sebagai peneliti di Finlandia kemudian mengajar Bahasa Indonesia untuk anak-anak Indonesia yang tinggal di negeri itu kemudian mengabadikannya dalam bentuk buku.
Ia bercerita bagaimana pendidikan di Finlandia yang kualitasnya diakui dunia itu memandang karakter sebagai hal mendasar dalam praktik pendidikan. Anak-anak tidak langsung diajarkan bagaimana mendapatkan ilmu secara teori, apalagi jika hal itu hanya untuk dihafal.
Paradigma mendasar yang menggerakkan praktik pendidikan di negara empat musim itu disebutnya tidak "tergesa-gesa" untuk mencekokkan ilmu pada anak, apalagi kalau hanya menjadi pengetahuan.
Karena itu, menghadapi anak dari pra-sekolah hingga kelas 3 sekolah dasar, para orang tua dan insan pendidikan di negara itu fokus menanamkan karakter pada anak, bukan sibuk mencekokkan pengetahuan.
Kalau sekolah berkepentingan untuk memasukkan pengetahuan pada anak, biasanya dipungut dari hal-hal konkrit yang dialami oleh anak. Untuk pelajaran matematika, misalnya, guru akan memanfaatkan munculnya semut yang ditemukan oleh murid. Murid diajak menghitung semut itu.
Menjadi orang tua, termasuk menjadi nenek bagi cucu-cucunya, kemudian menjadi guru, membuat Desi harus mereformasi atau merevolusi jiwa dan perilakunya setiap hari. Reformasi diri itu biasanya dilakukan setelah dia mendapat protes dari anaknya terkait sikap pada cucu.
Selain di rumah, sumber reformasi diri itu dia peroleh juga di sekolah tempatnya mengajar. Suatu ketika dia pernah menjadi guru pengganti di kelas 4A dari sebelumnya guru di kelas 4B.
Di awal memulai pelajaran, ia langsung mengungkapkan perbedaan antara murid kelas 4A dengan kelas 4B. "Kok begitu ya di kelas 4A?" Otomatis pernyataan itu mendapat protes dari para siswanya.
"Membanding-bandingkan ya," kata para murid serempak.
Desi tersadar dan langsung meminta maaf kepada murid-muridnya. Ia lebih tersadarkan lagi ketika masuk ke ruang guru mendapatkan semacam moto yang ditulis dalam ukuran besar, "Jangan membanding-bandingkan siswa".
Satu peristiwa, yaitu membanding-bandingkan siswa satu dengan lainnya, telah memberikan banyak pelajaran bagi pengembangan karakter anak. Pertama, guru bukan segala-galanya dan tidak selamanya benar, sehingga hal itu menjadikan siswa tidak segan atau takut mengkritisi guru. Kedua, peristiwa itu memberikan pesan bahwa siswa dan guru adalah setara, meskipun kesantunan secara sosial tetap diperlukan.
Pelajaran lain adalah meminta maaf itu tidak menjatuhkan harga diri, namun justru sebaliknya. Meminta maaf, termasuk kepada murid, adalah perbuatan mulia yang bisa diajarkan kepada anak untuk menjadi karakter, dengan cara guru mempraktikkannya langsung.
Dengan memberi kebebasan anak untuk berekspresi, bukan berarti proses belajar di Finlandia bebas hambatan. Sebagai manusia biasa, guru juga tidak jarang terjebak pada kondisi tertekan. Karena itu, pilihan berteriak sendiri atau menjerit bagi seorang guru untuk melampiaskan kekesalan pikirannya menghadapi tingkah anak, bukan tergolong salah dan naif.
Guru sudah berusaha memberikan yang terbaik untuk muridnya, tapi si murid masih mengekpresikan ketidakpuasannya, dengan mengatakan, "boring" atau membosankan. Dari hasil diskusi dengan murid, rupanya cara Desi mengajar masih terlalu teoritis. Padahal Desi sudah berusaha maksimal untuk mengajar dengan cara humoris.
Lalu bagaimana setelah guru berteriak karena kesal tadi? Lagi-lagi penyelesaiannya melibatkan murid. Mereka diajak bicara bagaimana dengan kejadian guru yang kesal itu. Anak kembali diajak berpikir, dan tidak ada komentar bahwa masalah yang dihadapi oleh guru tidak pantas untuk diselesaikan dengan melibatkan siswa.
Pada prinsipnya, kata Desi, proses belajar untuk pra-sekolah hingga kelas 3 adalah memberikan setidaknya dua hal, yakni menanamkan daya belajar dan daya ingin tahu pada siswa. Dengan demikian, ketika memasuki kelas 4 dan seterusnya, hingga perguruan tinggi, mereka sudah siap dengan perangkat daya itu.
Bagaimana dengan ujian? Ujian dilakukan bukan untuk mengejar nilai bagi siswa. Ujian hanya bertujuan untuk mengetahui sampai dimana pemahaman siswa terhadap suatu pelajaran. Dengan demikian tidak muncul upaya-upaya yang bernilai negatif terkait pencapaian nilai baik dari hasil ujian, seperti menyontek dan lainnya. Dengan pola seperti ini, maka anak terlatih untuk jujur.
Bahkan, menurut Desi, kompetisi untuk meraih nilai tinggi bagi seorang anak adalah "haram". Anak-anak pra-sekolah justru diajarkan bagaimana kolaborasi dengan teman lainnya.
Praktisi pendidikan Dewi Parwati Setyorini yang juga ibu dari artis Dian Sastrowardoyo dan sahabat dari Desiree menyatakan bahwa dirinya terus mendorong Desiree untuk membukukan pengalamannya itu untuk menggugah pemahaman banyak orang mengenai pendidikan yang bagus.
"Saya berpikir bahwa pengalaman Desi ini harus ditulis dan dibagikan ke banyak orang. Pola pendidikan seperti sangat bagus untuk anak-anak cucu yang akan mewarisi kiprah kita di masa depan. Anak-anak cucu kita yang akan mengantar kebangkita Indonesia di masa depan," katanya.
Sementara Dr Sutejo mengemukakan bahwa pengalaman Desiree ini mengingatkan praktik pendidikan kita agar tidak terjebak pada hal-hal teoritis dan tidak berakar pada realitas yang sesungguhnya.
Sutejo mengaku berterima kasih dengan apa yang disampaikan oleh Desi untuk menjadi pengingat semua pihak, termasuk para orang tua, agar tidak hanya menjejalkan pengetahuan kepada anak-anaknya.
Senada dengan itu, Naning Pranoto, pejuang di bidang literasi yang juga editor buku menyatakan dirinya bersemangat untuk menyampaikan pengalaman Desi ini kepada masyarakat, khususnya para pendidik, karena ada nilai-nilai yang sejalan dengan yang kini digaungkan oleh pemerintah, yakni merdeka belajar.
Aktivis sastra hijau yang baru saja menjalani operasi pemotongan lima organ tubuhnya itu menyatakan, dirinya selalu berupaya mencari "cahaya" dalam kehidupan yang bisa dipantulkan untuk kepentingan orang banyak. Cahaya itu ia temukan dalam kisah pengalaman yang dialami dan kemudian dibukukan oleh Desiree.
Sementara itu, Wahyu Rinanto, pemilik penerbit Literaloka, menyampaikan bahwa penerbitan buku ini jauh dari motif bisnis semata. Tanpa memperhitungkan potensi pasar, sebagaimana jika ingin menerbitkan buku pada umumnya, ia langsung setuju ketika Naning Pranoto menawarkan untuk menerbitkan buku karya Desiree itu.
Wahyu menyatakan bahwa isi buku ini akan banyak membawa manfaat bagi Indonesia dalam upaya bersama semua komponen untuk menyongsong masa depan yang lebih baik dan maju.
Dia mencatat dua hal dari buku ini, yakni penggunaan diksi "harus" dan "jangan" yang menjadi semacam kata haram untuk diucapkan oleh guru dan orang tua di Finlandia. Dua kata itu memang sederhana, namun jika diucapkan berulang-ulang akan menimbulkan dampak afirmasi yang menggerakkan atau sebaliknya, mematahkan potensi anak-anak.
Bangsa kita dikenal sebagai bangsa besar dan tangguh. Dalam setahun terakhir, Indonesia telah dipercaya menjadi tuan rumah penyelenggaran ajang regional dan internasional, yakni KTT G20 dan KTT ASEAN. Pertumbuhan ekonomi pascapandemi COVID-19 banyak dikagumi dunia.
Pendidikan adalah salah satu aspek penggerak untuk menyongsong kemajuan bangsa. Keterbukaan untuk menerima hal-hal baik dari luar adalah salah satu sarana untuk terus memperbaiki praktik pendidikan di negeri ini. Tentu memerlukan keterbukaan hati dan pikiran untuk berubah.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023