Yogyakarta (Antara) - Penggerebekan teroris oleh Detasemen Khusus 88 terkesan seperti tayangan "entertainment" yang mempertontonkan aksi pembunuhan dan penyerangan terhadap teroris, kata Rektor Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Edy Suandi Hamid.

"Hal itu dinilai tidak mendidik, karena aksi tersebut diliput televisi yang juga ditonton anak-anak, sehingga secara psikologis mempengaruhi pembentukan kepribadian anak atau mengajarkan sadisme," katanya di Yogyakarta, Jumat.

Menurut dia, penggrebekan terduga teroris di Cigondewah, Bandung, Selasa (7/5) cenderung "show of war", dengan menembak mati dan melakukan operasi dengan cara mengundang wartawan.

Hal itu, kata dia, sebenarnya sangat berbahaya bagi wartawan dan masyarakat sekitar.

"Aksi tersebut sangat membahayakan, membuka ruang publik penangkapan terorisme justru bisa menjadi kontraproduktif bagi penanganan terorisme, karena menyulitkan proses penangkapannya," katanya.

Ia mengatakan, dengan membuka ruang publik juga dapat menimbulkan risiko seperti salah sasaran, karena sudah dilakukan pengepungan, ternyata sasaran bukan yang dimaksud, apalagi jika sampai salah dalam melakukan penembakan.

"Jika hal itu terjadi, maka hasil investigasi intelijen akan sangat memalukan, apalagi fenomena salah tangkap juga sering terjadi di Indonesia," katanya.

Menurut dia, aksi terorisme dengan alasan apa pun memang tidak dibenarkan di dunia ini, termasuk di Indonesia. Dengan kata lain terorisme harus menjadi musuh bersama dan wajib hukumnya untuk diberantas.

Negara sebagai organ yang diberi kewenangan secara khusus menangani hal itu memang sudah sewajarnya menindak berbagai aksi terorisme yang terjadi di Indonesia.

"Namun, pemerintah melalui Densus 88 perlu melakukannya dengan cara-cara yang mengarah pada otaknya atau aktor intelektualnya, sehingga aksi terorisme dapat berhenti sampai pada akar-akarnya," katanya.

Oleh karena itu, kata dia, inti dalam tindakan penangkapan seharusnya tidak main bunuh, tetapi hendaknya proses menangkap terlebih dulu dengan mencari informasi sebanyak-banyaknya, sehingga lebih produktif dalam melakukan operasi penangkapan.

"Meskipun dapat dipahami demi menjaga nyawanya, Densus 88 harus berhati-hati, dan kalau sangat terpaksa baru membunuh mereka yang dicurigai teroris. Penyergapan aksi terorisme diharapkan lebih terstruktur, punya SOP yang jelas, bisa menghasilkan operasi yang optimal, dan meminimalkan korban kecuali benar-benar terpaksa," katanya.

Ia mengatakan, tindakan kehati-hatian dan meminimalkan risiko dalam menangkap aksi terorisme menjadi aspek yang harus dikedepankan.

"Untuk meminimalkan risiko tersebut, Densus 88 jangan terbuka dalam melakukan operasinya seperti penyergapan di depan media, mengundang wartawan dan masyarakat," katanya.

Namun demikian, menurut dia, tindakan yang telah dilakukan pemerintah melalui Densus 88 patut untuk diapresiasi, tetapi ke depan Densus 88 harus memperhatikan berbagai masukan dari elemen masyarakat dalam penggerebekan dan penangkapan teroris.

Dengan demikian, operasi yang dilakukan bisa meminimalkan risiko yang tidak diinginkan, dan tidak merugikan banyak pihak.

"Prinsip kehati-hatian, mengedepankan asas praduga tidak bersalah, dan melindungi kepentingan orang banyak harus menjadi pegangan Densus 88," katanya.

Pewarta: Bambang Sutopo Hadi
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2013