Malang (ANTARA) - Pakar Produksi Ternak Perah Fakultas Peternakan (FAPET) Universitas Brawijaya (UB), Prof Dr Tri Eko Susilorini mengemukakan bahwa pengembangan peternakan kambing perah di Tanah Air saat ini masih kekurangan bibit unggul.

"Permasalahan pengembangan peternakan kambing perah sampai saat ini adalah belum tersedianya bibit dengan mutu genetik tinggi yang tersedia secara kontinyu, masih kekurangan bibit unggul," kata Prof Tri Eko di Malang, Jawa Timur, Sabtu.

Untuk itu, katanya, dibutuhkan peran perguruan tinggi untuk melakukan kajian tentang hal tersebut.

Namun, menurut Prof Tri Eko, perbaikan manajemen pemeliharaan dan peningkatan mutu genetik serta kemampuan produksi kambing perah, bisa melalui tiga langkah.

Langkah pertama, perbaikan manajemen untuk mencapai standar kualitas. Kedua, peningkatan populasi melalui seleksi berdasar marka gen yang berasosiasi dengan litter size dan ketiga, peningkatan mutu genetik melalui seleksi berdasarkan dendogram dari berbagai bangsa kambing lokal Jawa Timur.

Ia mengatakan morfologi dari seekor ternak dapat menunjukkan sifat karakteristiknya, sehingga dapat meningkatkan standar ternak sebagai bibit. Biomolekuler adalah teknologi yang dapat digunakan untuk mendeteksi ternak sampai pada tingkat DNA.

“Teknologi morfobiomol dapat memberikan informasi fenotipik dan genotipik ternak secara akurat dan efisien, sehingga morfobiomol ini bisa digunakan untuk menghasilkan populasi yang memiliki karakteristik sesuai dengan tujuan pemeliharaan," katanya.

Menurutnya, berdasarkan teknologi morfobiomol kambing PE, kambing Senduro dan kambing Pote mempunyai potensi untuk menambah produksi susu segar dalam negeri.

“Penemuan penelitian kami, kambing Pote memiliki kesamaan secara molekuler dengan Kambing Senduro, sehingga kambing Pote dapat dikembangkan sebagai kambing tipe perah untuk dataran rendah,” imbuhnya.

Keunggulan dari teknologi morfobiomol, lanjutnya, dapat digunakan sebagai metode seleksi secara cepat sejak dini pada ternak dengan berdasar pada gen pananda dan tidak tergantung pada silsilah atau catatan keluarga.

"Hanya saja, metode ini membutuhkan laboratorium khusus dan tenaga terampil (tidak dapat dilakukan oleh peternak), dan membutuhkan keahlian dalam menentukan gen penanda yang tepat karena sifat kuantitatif dipengaruhi oleh banyak gen," katanya.

Baca juga: Biskuit ulat karya mahasiswa Universitas Brawijaya bisa obati stunting

Baca juga: Empat srikandi Universitas Brawijaya dikukuhkan sebagai profesor

Baca juga: Universitas Brawijaya kukuhkan lima profesor bidang ilmu berbeda

Pewarta: Endang Sukarelawati
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2023