Jakarta (ANTARA) - Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-43 ASEAN di Jakarta, awal September 2023 ini menghasilkan kesepakatan penting bagi pertumbuhan ekonomi kelautan.

Dalam Chairman’s Statement pada 5 September 2023, para pemimpin bersepakat mengadopsi ASEAN Blue Economy Framework demi menciptakan nilai tambah dan rantai nilai sumber daya laut secara inklusif dan berkelanjutan, dengan membangun ekonomi biru sebagai mesin baru untuk meningkatkan pertumbuhan di kawasan.

Indonesia merupakan negara dengan ekonomi kelautan terbesar di ASEAN, dengan nilai tambah sektor perikanan mencapai sekitar 27 miliar dolar AS, menurut Blue Economy: Development Framework for Indonesia’s Economic Transformation” 2021.

Dengan garis pantai Indonesia terpanjang kedua di dunia (108 ribu kilometer); produsen perikanan terbesar kedua di dunia; dan wilayah terumbu karang terluas kedua di dunia: 2,5 juta hektare; sektor kelautan di Tanah Air memang sudah selayaknya menjadi sumber penghidupan dan motor penggerak perekonomian lokal dan nasional.

Namun, dengan segala keunggulan tersebut, apakah sektor kelautan Indonesia telah mendatangkan manfaat ekonomi dan finansial yang diharapkan? Jawabannya, mencerminkan betapa besarnya potensi kelautan yang belum sepenuhnya dioptimalkan dan ekonomi biru adalah solusi yang efektif.

Untuk mendorong penerapan ekonomi biru di ASEAN, dan khususnya Indonesia, upaya kolaboratif antara pemerintah dan para pemangku kepentingan penting dilakukan.

Definisi ekonomi biru bagi Indonesia merujuk pada penjelasan Pasal 14 Ayat 1 UU Nomor 32/2014 tentang Kelautan, yaitu pendekatan untuk meningkatkan pengelolaan kelautan berkelanjutan, konservasi laut dan sumber daya pesisir serta ekosistemnya untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi dengan prinsip keterlibatan masyarakat, efisiensi sumber daya, meminimalkan limbah, dan nilai tambah ganda.

Pengelolaan “kelautan secara berkelanjutan” adalah kata kunci untuk menjamin semua kegiatan bisnis sektor kelautan dilakukan untuk mencapai keuntungan dengan cara-cara yang tidak merusak kesehatan ekosistem laut.


Bisnis berkelanjutan

Bisnis perikanan merupakan salah satu kekuatan ekonomi Indonesia di sektor kelautan, dan diandalkan sebagai sumber utama pendapatan masyarakat wilayah pesisir.

Berdasarkan data Potensi Desa 2021, desa yang sebagian besar penduduknya bekerja pada subsektor perikanan tangkap ada di 2.850 desa dan mayoritas atau 2.269 desa di antaranya berbatasan langsung dengan laut.

Sektor perikanan sangat bergantung pada kesehatan ekosistem laut yang saat ini menghadapi tantangan akibat penangkapan ikan secara berlebihan (overfishing) dan merusak, kegiatan illegal fishing, unregulated fishing, dan unreported fishing (IUU fishing) yang diperparah dengan krisis iklim.

Menurut Oceans for Prosperity: Reforms for a Blue Economy in Indonesia (Bank Dunia, 2021), sebanyak 38 persen perikanan tangkap Indonesia diperkirakan mengalami penangkapan ikan berlebihan pada 2017, dengan 44 persen lainnya ditangkap sepenuhnya.

Sesuai Keputusan Menteri KKP Nomor 19/2022, total estimasi potensi sumber daya ikan Indonesia 12 juta ton per tahun, sementara jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan (JTB) sebanyak 8,6 juta ton/tahun.

Mengutip berita ANTARA, produksi perikanan tangkap Indonesia tahun 2022 sebanyak 7,99 juta ton dan ditargetkan mencapai 8,73 juta ton tahun ini.

Meski masih dalam batas aman, Indonesia harus berhati-hati agar jumlah tangkapan ikan tidak melonjak melebihi JTB.

Dalam Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR, 31 Agustus 2023, Menteri Kelautan dan Perikanan mengatakan produksi perikanan tangkap tahun 2024 sebesar 6 juta ton, yang berarti mengalami penurunan.

Target 6 juta ton per tahun tersebut adalah langkah yang tepat karena merupakan angka optimal secara biologi, ekologi, dan ekonomi.

Jika JTB diturunkan menjadi 6 juta ton/tahun, berarti industri-industri besar yang tidak efisien yang melakukan aktivitas ekonomi terkait perikanan di daratan akan berhenti dengan sendirinya, sehingga secara ekonomi makro menguntungkan bagi negara dan sama sekali tidak mengurangi kuota untuk nelayan kecil.

JTB 6 juta ton atau kira-kira 50 persen dari Maximum Sustainable Yield (MSY) yang bisa dianggap merupakan manfaat ekonomi maksimum yang bisa dihasilkan.

Pada Maret 2023, pemerintah menerbitkan PP Nomor 11/2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT).

Regulasi ini menggunakan prinsip berdasarkan MSY dan JTB yang kami anggap dapat menjadi solusi mengatasi penangkapan ikan berlebihan.

Diterbitkannya PP 11/2023 juga berarti bahwa kebijakan kita bertransformasi dari pendekatan input, yaitu mengontrol jumlah nelayan dan jumlah kapal, menjadi pengendalian output dengan mengukur jumlah tangkapan ikan terlebih dahulu, baru menentukan jumlah kapalnya.

Setelah PP 11 ditetapkan, ada beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah. Pertama, mengalokasikan kuota untuk nelayan kecil terlebih dahulu untuk memastikan nelayan tidak tersisihkan dari mata pencaharian dan sumber pendapat utama mereka.

Kedua, stock assessment atau penelitian stok dilakukan sebaik mungkin, sehingga pemerintah mengetahui secara pasti jumlah ikan yang tersedia (evidence-based policy).

Ketiga, pemerintah perlu memantau dan mengevaluasi hasil tangkapan di setiap pelabuhan dan kapal, untuk memastikan jumlah ikan yang akan ditangkap, dan memeriksa jumlah tangkapan setelah kegiatan dilakukan.

Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan 10 persen atau 32,5 juta hektare wilayah perairan Indonesia dilindungi dalam bentuk skema konservasi selambatnya tahun 2030.

Sejauh ini, 28 juta hektare kawasan sudah secara resmi ditetapkan, namun sesuai dengan komitmen global, pemerintah sedang merancang penambahan luas kawasan konservasi menjadi 97,5 juta ha atau 30 persen wilayah perairan Indonesia.

Di tiap kawasan konservasi terdapat zona larangan menangkap ikan yang merupakan daerah asuhan dan pemijahan yang pada saatnya akan menambah stok ikan dewasa masuk ke daerah penangkapan (spill-over).

Sedangkan, di zona pemanfaatan terbatas kawasan konservasi, penangkapan ikan hanya boleh dilakukan oleh nelayan-nelayan kecil dan tradisional dengan alat tangkap yang tidak destruktif.

Indonesia juga masih menghadapi persoalan aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan dengan cara destruktif, yaitu penggunaan bom (bomb fishing/blast fishing); penggunaan racun (sianida), potas, atau bahan kimia lainnya yang dikenal dengan istilah cyanide fishing, serta penggunaan alat tangkap yang tidak efektif, seperti cantrang atau modifikasi pukat harimau yang tidak hanya menangkap ikan tertentu, tetapi juga membawa semua ikan-ikan kecil yang pada akhirnya mengganggu pertumbuhan populasi ikan.

Kini dengan semakin meluasnya dampak krisis iklim akibat ulah manusia yang tidak berkelanjutan, aktivitas bisnis di laut harus mengacu pada kebijakan implementasi ekonomi biru. Apalagi, semua juga tahu bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang akan mengalami dampak paling besar dari krisis iklim.

Jika regulasi dan kebijakan Indonesia sudah mengarah ke jalur berkelanjutan, tugas semua untuk membantu mengawal agar penerapan ekonomi biru di kawasan perairan Indonesia terlaksana seideal mungkin.

Dengan begitu, semua pihak bisa berharap bahwa suatu hari bisa merayakan Hari Maritim Nasional dengan kebanggaan sebagai negara dengan kekayaan laut melimpah sekaligus menjadi negara yang mampu melindungi kekayaan tersebut secara berkelanjutan dan membawa kesejahteraan bagi rakyatnya.


*) Meizani Irmadhiany adalah Executive Chair Konservasi Indonesia.

Copyright © ANTARA 2023