Mataram (ANTARA) - Pulau Lombok, dikenal memiliki panorama yang indah. Selain alamnya yang memikat, salah satu pulau di Nusa Tenggara Barat (NTB) ini juga memiliki tradisi budaya yang unik dan menarik. Salah satu di antara tradisi itu ialah "ngumbuq", tradisi lokal khas suku Sasak di Desa Marong, Praya Timur, Lombok Tengah.
Ngumbuq atau yang dalam bahasa Indonesia berarti "pemberian" itu adalah tradisi yang dikenal sebagai ajang pembuktian cinta kasih seorang lelaki kepada gadis Marong pujaannya.
Lalu Sahrun, tokoh adat di Desa Marong yang juga menemukan belahan jiwanya lewat tradisi ini mengisahkan bahwa tradisi ngumbuq ini bak benda pusaka, dirawat secara turun-temurun oleh masyarakat Sasak di Desa Marong. Tradisi yang sakral ini biasa dilakukan pada Idul Fitri dan Idul Adha.
Dua pekan menjelang Ramadhan, para gadis Marong akan dibawakan seekor ayam jantan (ayam jago) oleh sang lelaki pujaannya, begitu pula sepekan sebelum Lebaran tiba, sang lelaki akan kembali datang membawakan bingkisan berisikan puluhan batang sabun bertuliskan "shinzui".
Ayam jago adalah simbolisasi dari ketangguhan dan keberanian seorang lelaki dalam membuktikan perasaan cintanya. Perihal sabun shinzui, masyarakat percaya shinzui sebagai sabun paling harum yang ada saat ini.
Sembari memandang langit-langit rumahnya yang putih, Sahimin, seorang warga Desa Marong mencoba membongkar memori masa lalunya, bahwa tidak ada yang lebih perkasa dari ayam jago dan tidak ada yang lebih harum dari sabun (shinzui) ketika dirinya menjalani tradisi ngumbuq.
Dalam tradisi masyakarat Desa Marong, ngumbuq biasa dilakukan sebelum melakukan perkawinan. Caranya, sang pemuda terlebih dahulu membuktikan cintanya dengan memberikan barang berupa ayam jago dan sabun (shinzui) sebagai bukti cinta kepada perempuan yang dicintainya.
Sahimin menuturkan, sebelum sampai pada tahap ngumbuq, biasanya perkenalan seorang lelaki dan perempuan akan melewati beberapa tahapan mulai dari pendekatan, pacaran, midang (apel) hingga sampai pada tahap ngumbuq.
Menariknya, meskipun gadis Marong sudah memiliki pacar, lelaki lain boleh melakukan ngumbuq. Dalam tradisi ini , sebelum janur kuning melengkung, maka kesempatan itu bagi siapa saja.
Dalam tradisi ngumbuq, kesungguhan hati lelaki tak perlu dipertanyakan lagi, kesetiaan hati si gadis juga tak perlu diragukan sang lelaki. Dua insan yang disatukan oleh tradisi, menuntut mereka saling membuktikan.
Gadis Marong percaya, ngumbuq adalah bukti keseriusan lelaki kepada dirinya. Keseriusan yang tidak hanya sekali, tapi layaknya tradisi ngumbuq itu sendiri, keseriusan ini juga dipelihara dan dipupuk setiap tahun sampai sang gadis memantapkan seorang lelaki sebagai pilihan.
Simbol pembuktian cinta
Di tengah masyarakat Desa Marong, ada sepenggal ungkapan "guntur doang ndek arak ujan", atau dalam bahasa Indonesia berarti "gemuruh saja tidak ada hujan". Artinya, jika hanya omongan tanpa bukti, gadis Marong tidak akan percaya keseriusan niat lelaki.
Dulu kala, tutur sang tokoh adat, saking banyaknya yang menginginkan, sempat pernah ada seorang gadis yang memperoleh 71 ekor ayam dari 71 lelaki. Kisahnya tentulah berakhir manis. seorang gadis dengan seorang lelaki pilihannya. Kisah ini pula yang diceritakan kepada generasi-generasi setelahnya.
Konon, jika dahulu membawa seekor ayam jago saja cukup, maka dengan bertambahnya penghasilan rata-rata masyarakat saat ini, bertambah pula barang yang dibawa ngumbuq menjadi tiga hingga lima ekor ayam. Perkembangannya memang tidak tersurat, tapi tersirat secara natural.
Tak heran jika setiap tradisi ini digelar, seorang gadis Marong bisa mendapatkan belasan hingga puluhan ayam jago serta berdus-dus tumpukan sabun shinzui. Bukan karena seorang lelaki membeli barang sebanyak itu, hanya saja pemberian itu datang dari banyak lelaki.
Banyaknya pemberian itu bukan berarti gadis Marong memiliki banyak pacar. Banyaknya pemberian itu berarti ada banyak lelaki yang siap bersaing secara sehat memenangkan hati si gadis.
Selain memiliki beberapa tahapan, proses pemberian ayam jago dan sabun untuk ngumbuq ternyata melalui perantara atau masyarakat Marong menyebutnya Subandar.
"Proses ngumbuq itu sebenarnya diberikan lewat perantara, atau orang Marong menyebutnya Subandar. Subandar ini biasanya dari teman si lelaki yang akan mengantarkan ayam jago dan sabun itu ke rumah sang gadis," kata Baiq Gina, mahasiswa asal Desa Marong yang sedang meneliti tradisi di desanya itu.
Mahasiswi yang tentunya belum merasakan langsung bagaimana uniknya tradisi di desanya itu berlangsung menuturkan, salah satu cara pembuktian siapa lelaki yang memiliki perasaan paling besar dan tulus kepada sang gadis, ialah dengan mengadu ayam jago pemberian mereka.
Misalnya ayam pemberian si A akan di adu dengan ayam pemberian si B, maka akan dilihat ayam siapa yang lebih kuat. Konon, pemilik ayam yang lebih kuat, dianggap memiliki perasaan yang lebih besar dibandingkan lelaki yang lain.
Filosopi dan nilai-nilai
Lalu Suriana, tokoh adat di Desa Marong yang usianya tak muda lagi berkisah, dulunya ngumbuq adalah salah satu cara menyebarkan agama Islam, khususnya di Desa Marong. Para ulama atau wali ingin menyebarkan Islam dengan cara yang erat kaitannya dengan kebiasaan masyarakat setempat.
Ngumbuq awalnya bertujuan memeriahkan acara-acara besar Islam, sehingga secara tidak langsung kedatangan hari besar Islam menjadi momentum yang dinanti-nantikan oleh seluruh masyarakat Marong.
Sembari duduk bersila pria yang tampak keriput di wajahnya ini dengan khidmat menjelaskan empat nilai yang ada dalam tradisi ngumbuq. Pertama, berkaitan erat dengan pembuktian keseriusan cinta lelaki kepada sang gadis.
Nilai kedua, bukti tanggung jawab seorang lelaki. Tanggung jawab terhadap perasaan suka yang tidak hanya diwujudkan dalam kata-kata, tetapi bukti nyata yang dihadiahkan kepada sang gadis pujaannya.
Ngumbuq adalah simbolisasi dari pembiasaan tata krama bagi dua insan yang sedang jatuh cinta. Mengungkapkan perasaan harus dengan cara yang terbaik. Artinya, menginginkan sang gadis pujaan haruslah disertai dengan ridho kedua orang tua dan keluarganya.
Dan, yang terpenting dari semua nilai itu adalah bagaimana tradisi ini dapat mempererat hubungan seluruh masyarakat Marong terlebih di tengah kemajuan zaman yang mulai menggoyahkan norma dan tata nilai kehidupan bermasyarakat.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023