Pola pertama memberikan payung bagi pengabaian kontrol politik atas keuangan daerah dan pola kedua memberikan payung bagi imunitas hukum dari kepala daerah,"

Jakarta (ANTARA News) - Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) menyatakan Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Daerah berpotensi memberikan perlindungan terhadap tindak pidana korupsi (TPK) yang terlihat adanya dua pola perlindungan praktik tersebut.

"Pola pertama memberikan payung bagi pengabaian kontrol politik atas keuangan daerah dan pola kedua memberikan payung bagi imunitas hukum dari kepala daerah," kata Direktur Eksekutif Sad Dian Utomo dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu.

Sad Dian mengatakan pola pertama ditunjukkan dengan adanya aturan pengabaian kontrol DPRD atas perencanaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah. Aturan ini menurut dia terdapat di Pasal 202 tentang pembahasan bersama DPRD dan kepala daerah terhadap RAPBD dan Pasal 207 tentang pembahasan bersama DPRD dan kepala daerah terhadap pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.

Ketentuan ini akan menimbulkan konsekuensi politik. Pertama, dengan mengabaikan fungsi pengawasan DPRD dalam pembahasan RAPBD dan pertanggungjawaban APBD, maka RUU Pemda berpotensi membuka penyalahgunaan kekuasaan dari kepala daerah, ujarnya.

Menurut dia, cukup dengan alasan gagal bersepakat dengan DPRD, kepala daerah dapat menetapkan APBD dan menetapkan penerimaan pertanggungjawaban dirinya sendiri atas pelaksanaan APBD yang dilakukannya. Hal itu menurut Sad Dian melalui pengesahan dari Menteri untuk bagi provinsi atau gubernur untuk kabupaten/ kota dalam rentang waktu 22 hari.

Dia menjelaskan konsekuensi politik kedua adalah ditetapkannya APBD dan pertanggungjawaban APBD melalui peraturan kepala daerah berpotensi cacat-hukum. Menurut dia, akan muncul konflik politik baru dengan DPRD karena peraturan kepala daerah tidak termasuk wilayah legislasi anggaran DPRD.

Kecenderungan `executive heavy` dalam kedua pasal RUU Pemda tersebut menghadirkan potensi penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan dari kepala daerah, katanya.

Pola Kedua menurut dia, dalam RUU itu ditunjukkan dengan adanya dua pasal imunitas hukum kepada kepala daerah yaitu Pasal 71 dan Pasal 269. Dia mengatakan kedua pasal itu memberikan imunitas hukum kepada kepala daerah atas dasar dua hal seperti imunitas dari tuntutan pidana paska menjabat, dengan dasar hasil audit paska jabatan atas keuangan daerah dan aset daerah.

Sad Dian menjelaskan imunitas paska menjabat, dengan berlindung dibalik hasil audit dari instansi yang berwenang, yaitu BPK atau BPKP merupakan upaya menghalangi pemberantasan korupsi.

Persoalannya menurut dia, bukan pada kredibilitas dari hasil audit paska jabatan dari BPK/BPKP namun upaya menutup adanya bukti-bukti tindak pidana diluar dari hal-hal yang diaudit oleh instansi yang berwenang itu.

Demikian pula dengan imunitas hukum dari kegagalan kebijakan inovasi daerah. Kegagalan inovasi tidak termasuk ranah hukum pidana. Hal ini menjadi ranah kebijakan, administrasi, dan kompetensi pelaksana kebijakan tersebut, katanya.

Untuk itu menurut dia, PATTIRO merekomendasikan kepada DPR dan pemerintah untuk mengubah Pasal 202, Pasal 207, dan pasal 71 serta Pasal 269 dihapus.

Selain itu, PATTIRO juga mengusulkan penambahan pasal baru terkait konsekuensi atau sanksi kepada kepala daerah yang mengabaikan rekomendasi perbaikan kinerja dari DPRD.

Sanksi kepada kepala daerah tersebut merupakan usulan DPRD kepada menteri untuk provinsi dan gubernur untuk kabupaten/kota berupa sanksi administratif tidak dibayarkan hak-hak keuangan kepala daerah selama tiga bulan.
(I028/Z003)

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013