Jakarta (ANTARA) - Direktur Pengelolaan dan Pelayanan Kefarmasian, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Agusdini Banun Saptaningsih menegaskan praktik kefarmasian harus dilakukan oleh tenaga kefarmasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

"Dalam menjalankan praktik kefarmasian, apoteker dan/atau apoteker spesialis dapat dibantu oleh tenaga vokasi farmasi," kata Agusdini dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu.

Agusdini mengatakan praktik kefarmasian yang harus dilakukan oleh tenaga kefarmasian meliputi pengendalian produksi, termasuk pengendalian mutu, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, penelitian, pengembangan stok farmasi, serta pengelolaan dan pelayanan kefarmasian.

Ia menambahkan fasilitas kefarmasian terdiri dari fasilitas produksi, distribusi, pengelolaan kefarmasian, pelayanan kefarmasian, dan pelayanan kesehatan penunjang.

"Pada fasilitas produksi yang berupa industri farmasi dan industri bahan obat, harus memiliki sekurang-kurangnya tiga orang apoteker dan/atau apoteker spesialis sebagai penanggung jawab masing-masing pada bidang pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu," tegasnya.

Baca juga: Pemenuhan perbekalan kesehatan diatur lewat Sistem Kesehatan Nasional

Baca juga: Apoteker: Perkuat peran BPOM atasi masalah kefarmasian


Sedangkan industri obat bahan alam, industri ekstrak bahan alam, dan industri kosmetika, kata Agusdini, harus memiliki sekurang-kurangnya satu orang apoteker dan/atau apoteker spesialis sebagai penanggung jawab.

Selain itu, sambungnya, industri alat kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) harus memiliki penanggung jawab teknis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan fasilitas produksi tertentu, jelas dia, seperti usaha kecil, usaha mikro obat bahan alam, serta industri kosmetik golongan B, dapat dilaksanakan oleh tenaga vokasi farmasi.

"RPP (Rancangan Peraturan Perundang-undangan) ini akan diatur turunannya di Permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan), sekurang-kurangnya memiliki satu tenaga vokasi farmasi, tetapi tetap disupervisi oleh apoteker" jelasnya.

Dalam kondisi tertentu, Agusdini menerangkan praktik kefarmasian secara terbatas pada fasilitas pelayanan kefarmasian dapat dilakukan oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan. Kondisi tersebut meliputi ketiadaan tenaga kefarmasian di suatu wilayah, kebutuhan program pemerintah, penanganan kegawatdaruratan medis dan/atau Kejadian Luar Biasa (KLB), wabah, dan darurat bencana lainnya.

Untuk memastikan hal tersebut, kata dia, Pemerintah Pusat dan Daerah sesuai kewenangannya dapat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan praktik kefarmasian, serta dapat mengikutsertakan organisasi profesi.

Pernyataan tersebut disampaikan Agusdini Banun Saptaningsih dalam Uji Publik peraturan turunan UU Kesehatan yang dilaksanakan sejak Senin (18/9) hingga satu minggu ke depan. Kegiatan ini dapat diikuti oleh masyarakat umum melalui saluran YouTube Kementerian Kesehatan.

Selain itu partisipasi publik dalam memberikan saran juga dapat dilaksanakan melalui laman web https://partisipasisehat.kemkes.go.id/ selama proses penyusunan berlangsung.


Baca juga: Apoteker diminta paham aspek hukum layanan kefarmasian

Baca juga: BPJS: Sustainabilitas JKN-KIS bergantung pengelolaan kefarmasian

Pewarta: Sean Muhamad
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2023