Jakarta (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Alamsyah M. Djafar menyebut toleransi merupakan pilar penopang untuk menjaga keberagaman dan persatuan Indonesia.
Menurut dia, toleransi berakar kuat sebagai jati diri bangsa. Keberagaman tanpa toleransi, kata Alamsyah, akan menyebabkan homogenisasi dan menciptakan konflik yang berkepanjangan.
“Dalam konteks nilai Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi kebanggaan Indonesia, toleransi bisa dimaknai sebagai segala tindakan untuk menghormati dan menghargai hak-hak kelompok yang berbeda, baik secara agama, keyakinan, bahasa, etnis, jenis kelamin, pandangan politik, dan lain sebagainya,” kata dia dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Dia mengatakan penghormatan terhadap nilai toleransi itu dapat diterjemahkan, salah satunya, dengan tidak menghalang-halangi orang lain dalam menjalankan hak dan kewajiban sebagai warga negara Indonesia.
Menurut Alamsyah, seluruh warga negara harus mendapatkan hak-haknya sebagaimana yang telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) 1945.
“Sebagai contoh, bersikap toleran terhadap orang yang berbeda agama dan keyakinan dapat diwujudkan dalam bentuk tidak melarang mereka untuk bisa menjadi guru di sekolah negeri. Sebab, hal tersebut adalah salah satu hak yang dijamin dalam UUD 1945,” katanya.
Toleransi, sambung Alamsyah, dapat dimaknai secara aktif, yakni dengan ikut memperjuangkan hak-hak warga negara yang belum terpenuhi. Menurut dia, terpenuhinya kesetaraan hak orang atau kelompok tertentu tidak akan pernah merugikan atau mengurangi hak dari pihak lain.
Baca juga: Kepala BNPT sebut tren toleransi masyarakat alami peningkatan
Baca juga: Kepala BNPT ingatkan perlunya menumbuhkan nilai toleransi pada remaja
Peneliti yang aktif menyoroti isu toleransi dan perdamaian itu mengatakan masyarakat Indonesia cenderung menyamakan toleransi dengan permisifisme, yaitu sikap membolehkan atau menyamakan segala hal.
“Padahal toleransi tidak berarti toleran terhadap tindakan yang melanggar peraturan atau hukum yang berlaku, contohnya menoleransi tindakan atau ujaran kebencian. Sikap toleransi seharusnya dimaknai dengan walaupun kita tidak setuju dengan pandangan tertentu, kita dapat menghargai pandangan yang berbeda tersebut,” papar Alamsyah.
Di sisi lain, dia menilai pemerintah maupun pihak swasta telah melakukan upaya untuk menjembatani perbedaan di masyarakat. Upaya tersebut ditunjukkan dengan semakin banyaknya kegiatan yang memfasilitasi pertemuan dan dialog antarkelompok.
“Misalnya, ada kegiatan membangun toleransi lintas iman dan budaya dengan cara bertualang ke daerah-daerah tertentu, mengunjungi rumah ibadah, museum, dan mengadakan dialog yang lebih jujur di antara para peserta,” katanya.
Alamsyah berharap toleransi terhadap keberagaman dapat terus tertanam pada generasi muda Indonesia. Ia percaya Indonesia telah memiliki modal besar dalam konteks tersebut.
“Kita menghadapi bonus demografi yang tidak hanya mendapatkan surplus secara kuantitas, tetapi juga meningkat secara kualitas bila dibandingkan dengan generasi sebelumnya,” kata dia.
Generasi muda saat ini telah mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Walaupun begitu, dia mengingatkan bahwa Indonesia masih menghadapi tantangan maraknya ujaran kebencian, khususnya di kalangan kaum muda.
Oleh karena itu, Alamsyah mendorong semua pihak untuk mengembangkan strategi inovatif yang sesuai sasaran demi terciptanya kesadaran bersama akan bahaya intoleransi.
“Bisa melalui pendekatan ‘mental health’ yang menjadi salah satu isu populer generasi muda Indonesia saat ini. Kita juga bisa kembangkan program penanaman toleransi yang lebih informal dan santai, serta melalui sarana pendidikan formal mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi,” paparnya.
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2023